Rabu, 24 Oktober 2018

inhalansia (hisap lem)


INHALANSIA (HISAP LEM)
A.      Pengertian Inhalansia (Hisap Lem) serta Dampak yang Ditimbulkannya
1.     Pengertian Inhalansia (Hisap Lem)
Hisap lem merupakan kegiatan menghisap uap lem yang dilakukan oleh remaja dan anak-anak dengan maksud untuk mendapatkan sensasi high atau mabuk, yang dalam bahasa ilmiah dikenal dengan istilah inhalansia. Inhalansia adalah uap bahan yang mudah menguap yang dihirup. Contohnya aerosol[1], aica aibon (selanjutnya penulis akan menjelaskannya secara khusus sebab zat ini yang banyak digunakan oleh remaja dan anak-anak untuk dihisap), isi korek api gas, cairan untuk dry cleaning, thinner dan uap bensin. Umumnya digunakan oleh anak di bawah umur atau golongan kurang mampu / anak jalanan.[2] Seseorang yang menghirup / menghisap uap dari zat pelarut (thinner cat), uap lem, atau zat lainnya yang dapat membuat mabuk dikenal dengan istilah inhalen.[3]
Inhalansia seperti uap bensin, thinner, cat kuku dan lem mempunyai bau yang sangat menyengat. Tanpa disadari bau tersebut mempunyai dampak yang berbahaya bagi tubuh yaitu kecanduan bahkan sampai kematian. Inhalansia sendiri adalah senyawa organik berupa gas pelarut yang mudah menguap. Senyawa ini biasa ditemukan dalam zat-zat yang mudah didapatkan anak-anak dan remaja seperti lem aica aibon.[4]
Inhalansia merupakan suatu istilah yang dipakai dalam bidang ilmu kedokteran. Dalam kamus kedokteran disebutkan bahwa Inhalansia / inhalasi adalah menghirup udara atau uap lain ke dalam paru-paru.[5] Uap yang dimaksud yaitu yang berasal dari larutan-larutan yang mudah menguap seperti cat semprot, hairspray, lem dan pengharum ruangan. Dapat pula berasal dari gas seperti gas nitrous oksida dan anestesi (pembius), contohnya eter dan kloroform (zat cair pekat tanpa warna tidak berbau dan tidak mudah terbakar).[6]     
Inhalansia termasuk salah satu zat yang tergolong ke dalam zat adiktif. Zat adiktif merupakan zat yang penggunaannya bisa menyebabkan ketergantungan fisik dan juga mengalami ketergantungan psikologis berkepanjangan (drug dependence).[7]
Berdasarkan PP Nomor  109 Tahun  2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung zat adiktif, bahwa zat adiktif adalah bahan yang menyebabkan adiksi atau ketergantungan yang membahayakan kesehatan dengan ditandai perubahan perilaku, kognitif, dan fenomena fisiologis, keinginan kuat untuk mengonsumsi bahan tersebut, kesulitan dalam mengendalikan penggunaannya, memberi prioritas pada penggunaan bahan tersebut daripada kegiatan lain, meningkatnya toleransi dan dapat menyebabkan keadaan gejala putus zat.[8]
Macam-macam zat yang tergolong zat adiktif sebagai berikut:
a.      Alkohol
Alkohol adalah hasil fermentasi / peragian karbohidrat dari butir padi-padian, sari buah anggur dan nira. Kadar alkohol minuman yang diperoleh melalui proses fermentasi tidak lebih dari 14%.[9]
b.     Kafein
Kafein[10] adalah Alkaloida[11] yang terdapat dalam buah tanaman kopi. Biji kopi mengandung 1- 2,5% kafein.[12]
c.      Nikotine
Nikotine[13] terdapat dalam tumbuhan tembakau dengan kadar sekitar 1-4%. Dalam setiap batang rokok terdapat 1,1 mg nikotine. Nikotine menimbulkan ketergantungan.[14]
d.     Zat Sedatif dan Hipnotika
Yang tergolong zat sedatif (penenang) atau hipnotika (menyebabkan tidur) diantaranya benzondiazepin, temazepam dan diazepam.[15]
e.      Inhalansia
Inhalansia yaitu zat- zat yang disedot melalui hidung seperti:
a)     Hidrokarbon alifatis dan solven[16] termasuk toluene (terdapat dalam perekat / lem, pelumas, bensin, aerosol dan semir sepatu).
b)     Halogen hidrokarbon termasuk trichloretilena, trichloretana dan methylenchlorida (terdapat dalam minyak pelumas). choloform, haloten, trichlorofluoromethana dan icshlorotetrafluorometana (terdapat dalam freon, pendingin AC dan lemari es).
c)     Nitrit alifatis meliputi amilnitrit, isobulnitrit, butilnitrit (yang semuanya terdapat dalam pengharum ruangan).[17]
Zat adiktif termasuk salah satu zat yang sangat berbahaya. Jika salah dalam pemakaiannya zat adiktif bisa merusak tubuh, bila keracunan bisa menimbulkan halusinasi atau mungkin berakibat fatal yaitu kematian. Berikut efek / dampak yang ditimbulkan zat adiktif:[18]
a.       Efek / dampak penyalahgunaan minuman alkohol. Alkohol dalam minuman keras dapat menyebabkan gangguan jantung dan otot syaraf, mengganggu metabolisme tubuh, membuat janin menjadi cacat, impoten serta gangguan seks lainnya.
b.       Efek / dampak penyalahgunaan halusinogen. Halusinogen dalam tubuh manusia dapat mengakibatkan pendarahan otak.
c.       Efek / dampak penyalahgunaan kokain. Zat adiktif kokain jika dikonsumsi dalam jangka panjang dapat menyebabkan kekurangan sel darah putih atau anemia sehingga dapat membuat badan kurus kering. Selain itu kokain menimbulkan perforesi sekat hidung (ulkus) dan aritma pada jantung.
d.       Efek / dampak penyalahgunaan inhalansia. Inhalansia memiliki dampak buruk bagi kesehatan kita seperti gangguan pada fungsi jantung, otak, dan lever.
e.       Efek / dampak penyalahgunaan non obat. Dalam kehidupan sehari-hari sering kita temui benda-benda yang disalahgunakan oleh banyak orang untuk mendapatkan efek tertentu yang dapat mengakibatkan gangguan kesehatan. Contoh barang yang dijadikan candu antara lain seperti bensin, thinner, racun serangga, lem aica aibon. Efek dari penggunaan yang salah pada tubuh manusia adalah dapat menimbulkan infeksi emboli (bekuan darah atau sumbat lain yang dibawa mengalir oleh darah sampai ke pembuluh darah yang kecil dan disini tersangkut sehingga menyumbat).
Zat adiktif merupakan salah satu zat yang tergolong ke dalam narkoba. Dewasa ini, narkoba dikenal dengan sebutan NAPZA (narkotika, psikotropika dan zat adiktif).[19]
Berdasarkan Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dinyatakan bahwa narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis maupun semi sintetis, yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan (adiktif).[20]
Psikotropika menurut Undang-Undang No. 5 Tahun 1997 merupakan zat atau obat baik alamiah maupun sintetis bukan narkotika yang berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada susunan saraf pusat yang menyebabkan perubahan khas pada aktivitas mental dan perilaku.[21] Sedangkan zat adiktif merupakan zat-zat yang tidak termasuk golongan narkotika maupun obat-obat berbahaya, tetapi mempunyai pengaruh dan efek merusak fisik dan psikis seseorang jika disalahgunakan sebagaimana penggunaan narkotika maupun obat-obatan berbahaya lainnya, kebanyakan zat-zat ini termasuk golongan halusinogen[22], yaitu seperti LSD (lysergic Acid Diethylamide)[23], psylocybin (cendawan), maskalin (kaktus), gasoline (bensin) dan glue snidding sebangsa lem.[24]
2.     Dampak yang Timbul Akibat Menghisap Lem
Lem merupakan bahan perekat yang mudah didapat dan harganya pun terjangkau. Berbeda halnya dengan narkoba sulit untuk didapat sebab harganya yang sulit untuk dijangkau. Di samping itu, ketika berurusan dengan narkoba mau tidak mau resiko dan rasa takut akan kemungkinan yang terjadi juga harus dihadapi, sebab bermain dengan narkoba resikonya harus siap berurusan dengan hukum dan aparatur negara.
Mengingat untuk mendapatkan narkoba sangat sulit sehingga sebagai alternatif lain remaja ataupun anak-anak menggunakan lem untuk dihisap tanpa memikirkan dampak yang timbul akibat perilaku tersebut. Lem yang tergolong ke dalam salah satu zat adiktif memberikan efek dan dampak negatif. Dampak negatif tersebut sudah pasti merugikan dan sangat buruk efeknya bagi kesehatan mental dan fisik. Diantara dampak yang ditimbulkan adalah sebagai berikut:[25]
1)     Pada mulanya merasa sedikit terangsang;
2)     Dapat menghilangkan pengendalian diri atau fungsi hambatan;
3)     Bernafas menjadi lambat dan sulit;
4)     Tidak mampu membuat keputusan;
5)     Terlihat mabuk dan jalan sempoyongan;
6)     Mual, batuk dan bersin-bersin;
7)     Kehilangan nafsu makan;
8)     Halusinasi;
9)     Perilaku menjadi agressif / berani atau bahkan kekerasan;
10) Bisa terjadi henti jantung (cardiac arrest);
11) Pemakaian yang berlebihan dapat menyebabkan kerusakan syaraf otak menetap, keletihan otot, gangguan irama jantung, radang selaput mata, kerusakan hati dan ginjal, gangguan pada darah dan sumsum tulang, terjadi kemerahan yang menetap di sekitar hidung dan tenggorokan;
12) Dapat terjadi kecelakaan yang menyebabkan kematian akibat intoksikasi atau keracunan dan sering sendirian.
Dilihat dari dampak yang ditimbulkan akibat dari perilaku inhalansia (hisap lem) tersebut jika dibandingkan dengan dampak yang ditimbulkan akibat pemakaian narkoba secara umum tidak jauh berbeda. Secara umum pengaruh narkoba ada tiga:[26]
1)     Depresan
a)     Menekan atau memperlambat fungsi sistem saraf pusat sehingga dapat mengurangi aktivitas fungsional tubuh;
b)     Dapat membuat pemakai merasa tenang, memberikan rasa melambung tinggi, memberi rasa bahagia dan bahkan membuatnya tertidur atau tidak sadarkan diri.
2)     Stimulan
a)     Merangsang sistem saraf pusat dan meningkatkan kegairahan (segar dan bersemangat) dan kesadaran;
b)     Obat ini dapat bekerja mengurangi rasa kantuk karena lelah, mengurangi nafsu makan, mempercepat detak jantung, tekanan darah dan pernapasan.
3)     Halusinogen, dapat mengubah indera yang jelas serta perasaan dan pikiran sehingga menimbulkan kesan palsu atau halusinasi.
Keluhan umum dan keluhan khusus bagi kesehatan badan akibat narkoba:[27]
1)     Keluhan Umum
a)     Terganggunya fungsi otak;
b)     Daya ingat menurun;
c)     Sulit berkonsentrasi;
d)     Suka berkhayal;
e)     Intoksikasi / keracunan;
f)      Overdosis;
g)     Gejala putus zat;
h)     Gangguan perilaku / mental-sosial.
2)     Keluhan Khusus
a)     Berat badan turun drastis;
b)     Mata terlihat cekung dan merah;
c)     Muka pucat;
d)     Bibir kehitam-hitaman;
e)     Buang air besar dan kecil kurang lancar;
f)      Sakit perut tiba-tiba;
g)     Batuk dan pilek berkepanjangan;
h)     Sering menguap;
i)      Mengeluarkan keringat berlebihan;
j)      Mengalami nyeri kepala.
B.      Tinjauan Umum Terhadap Lem “Aica Aibon
Aica aibon merupakan lem serbaguna yang dapat digunakan untuk merekatkan berbagai jenis barang dan peralatan, seperti merekatkan barang yang terbuat dari bahan kulit binatang contohnya tas dan sepatu, kayu, aluminium, kertas, plastik, karet, besi, tembaga dan sebagainya. Akan tetapi bagi remaja dan anak-anak terutama dikalangan anak-anak jalanan aica aibon adalah jenis lem yang disalahgunakan fungsinya. Lem ini sering mereka gunakan untuk mabuk. Sebab lem ini termasuk ke dalam zat adiktif yang merupakan zat berbahaya dan dapat menimbulkan halusinasi sehingga lem ini disalahgunakan oleh remaja dan anak-anak untuk mendapatkan kesenangan.
Zat yang ada dalam aica aibon adalah zat kimia yang bisa merusak sel-sel otak dan membuat pikiran dan perilaku menjadi tidak normal, sakit bahkan bisa meninggal. Salah satu zat yang terdapat di dalam aica aibon adalah Lysergic Acid Diethyilamide (LSD). Lysergic Acid Diethylamide (LSD) adalah halusinogen yang paling terkenal. Ini adalah narkoba sintetis yang disarikan dari jamur kering (dikenal sebagai ergot) yang tumbuh pada rumput gandum.[28]
Zat ini pertama kali dibuat secara sintetis pada tahun 1940-an untuk menghilangkan hambatan yang merintangi pada kasus kejiwaan. Halusinogen yang diperoleh dari tumbuh-tumbuhan, seperti kaktus peyote, telah dipakai golongan pribumi Meksiko selama beberapa ratus tahun untuk kegiatan keagamaan dan hiburan.[29]
Lysergic Acid Diethylamide (LSD) merupakan zat semisintetik psychedelik[30]. LSD sensitif terhadap udara, sinar ultraviolet, terutama dalam bentuk solutio[31], yang akan bertahan selama 1 tahun jika dijauhkan dari cahaya dan dijaga agar suhunya tetap berada di bawah temperatur. Bentuk asli, warna dan baunya sangat khas. LSD dapat didistribusi ke dalam tubuh secara intramuskular[32] atau injeksi intravena[33]. Dosis yang dapat menyebabkan efek psikoaktif pada manusia yaitu 20-30 mg (mikrogram). LSD dapat digunakan sebagai agen therapeutik[34] yang menjanjikan.
LSD adalah cairan tawar, yang tidak berwarna dan tidak berbau yang sering diserap ke dalam zat berbentuk kertas berukuran kotak kecil sebesar ¼ perangko dalam banyak warna dan gambar. Ada juga yang berbentuk pil atau kapsul. Cara menggunakannya dengan meletakkan LSD pada permukaan lidah dan bereaksi setelah 30-60 menit kemudian dan berakhir setelah 8-12 jam.[35]
Untuk penggunaan LSD efeknya dapat menjadi nikmat yang luar biasa, sangat tenang dan mendorong perasaan nyaman. Sering kali ada perubahan pada persepsi, penglihatan, suara, penciuman, perasaan dan tempat. Efek negatif LSD dapat merusak termasuk hilangnya kendali emosi, disorientasi, depresi, kepeningan, perasaan panik yang akut dan perasaan tak terkalahkan, yang dapat mengakibatkan pengguna menempatkan diri dalam bahaya fisik. Seperti dampak berikut ini yang ditimbulkan oleh zat LSD (lysergic Acid Diethylamide), yaitu:[36]
1.     Timbul rasa yang disebut tripping yaitu seperti halusinasi tempat, warna dan waktu. Biasanya halusinasi ini digabung menjadi satu hingga timbul obsesi terhadap yang dirasakan dan ingin hanyut di dalamnya;
2.     Menjadi sangat indah dan bahkan menyeramkan, lama-kelamaan membuat perasaan khawatir yang berlebihan (paranoid);
3.     Denyut jantung dan tekanan darah meningkat;
4.     Diafragma mata melebar dan demam;
5.     Disorientasi;[37]
6.     Depresi (kelesuan, penurunan/kemerosotan, keadaan tertekan (mental atau emosi));
7.     Pusing;
8.     Panik dan rasa takut berlebihan;
9.     Flashback (mengingat masa lalu) selama beberapa minggu atau bulan kemudian;
10.  Gangguan persepsi seperti merasa kurus atau kehilangan berat badan.
C.      Inhalansia (Hisap Lem) Dalam Islam
1.     Status Hukum Inhalansia (Hisap Lem)
Dalam Islam tidak ada penyebutan kata inhalansia (hisap lem) secara langsung, begitupun dengan status hukumnya. Sama halnya dengan narkoba, status hukumnya juga tidak disebutkan secara langsung baik di dalam al-Quran maupun as-Sunnah. Sebab, pada masa Rasulullah Saw tidak dikenal masalah narkoba ataupun inhalansia (hisap lem). Pada masa Rasulullah Saw sesuatu yang memabukkan dikenal dengan istilah khamr.
Khamr dalam bahasa Arab berarti “menutup” kemudian dijadikan nama bagi segala yang memabukkan dan menutup aurat.[38] Al-Qurthubi mengemukakan kata khamr berasal dari kata khamara atau satara yang berarti menutup. Oleh karena itu, ada istilah kerudung wanita. Setiap benda yang menutup sesuatu yang lain selalu disebut khamr, seperti dalam kalimat “tutuplah wadah-wadah kalian”. Jadi, khamr dapat menutup akal, menyumbat, dan membungkusnya.[39]
Selanjutnya kata khamr dipahami sebagai nama minuman yang membuat peminumnya mabuk atau gangguan kesadaran. Pada zaman klasik, cara mengonsumsi benda yang memabukkan diolah dalam bentuk minuman sehingga para pelakunya disebut peminum. Pada era modern, benda yang memabukkan dapat dikemas menjadi aneka kemasan berupa benda padat, cair maupun gas bahkan ada yang dikemas menjadi bentuk makanan, minuman, tablet, kapsul atau serbuk sesuai dengan kepentingan dan kondisi si pemakai.[40]
Minuman khamr menurut bahasa al-Quran adalah minuman yang terbuat dari biji-bijian atau buah-buahan yang melalui proses begitu rupa sehingga dapat mencapai kadar minuman yang memabukkan.[41]
Para fuqaha memberi pengertian khamr yaitu cairan yang memabukkan, yang terbuat dari buah-buahan segar seperti anggur, kurma yang berasal dari biji-bijian seperti gandum dan yang berasal dari manisan seperti madu, atau hasil atas sesuatu yang mentah, baik diberi nama klasik atau nama modern yang beredar di dalam masyarakat sekarang ini.[42]
Zat yang digolongkan sejenis minuman memabukkan adalah narkoba. Sebab narkoba adalah zat yang melemahkan, membius, dan merusak akal serta anggota tubuh lainnya.[43] Dasar hukum pengharaman narkoba dimaksud, adalah hadits Rasulullah Saw berikut:[44]
نَهى رَسُوْلُ الله صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ كُلُّ مُسْكِرٍ وَ مُفَتِّرٍ (ﺭﻭﺍە ﺍﺣﻤﺪ ﻭ ﺍﺑﻮ ﺩﺍﻭﺩ)
Artinya:
Rasulullah Saw melarang setiap perkara yang memabukkan dan dapat melemahkan badan. (Diriwayatkan Ahmad dan Abu Daud).
Dalam Fikih Islam Kontemporer istilah narkoba dikenal dengan al-mukhaddirat (Inggris: narcotics). Menurut Wahbah Zuhaili dalam kitabnya, Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu sebagaimana dikutip oleh M. Shiddiq al-Jawi menyatakan bahwa al-mukhaddirat merupakan segala sesuatu yang membahayakan tubuh dan akal.[45] Definisi ini mencakup apa-apa yang dapat memabukkan, semisal racun, rokok termasuk juga dalam hal ini menghisap lem. Hal ini disebabkan karena sifat barang tersebut sama-sama memabukkan. Baik dalam bentuk padat, cair maupun gas, zat-zat yang memabukkan, melemahkan dan menenangkan.[46] Seperti menghisap lem yang dapat memabukkan dan menimbulkan efek yang sama dengan narkoba.
Selanjutnya Shalih Bin Ghanim as-Sadlan juga mengungkapkan bahwa yang dimaksud narkoba dalam bahasa Arab disebut mukhaddirat. Maksudnya menunjukkan kepada sesuatu yang yang terselubung, kegelapan dan kelemahan.[47]
Dr. Madani berpendapat meski narkoba tidak dikenal pada masa Rasulullah Saw, namun narkoba termasuk kategori khamr bahkan bahayanya lebih berat dibanding dengan khamr (minuman keras).[48]
Ulama telah sepakat bahwa menyalahgunakan narkoba itu haram, karena dapat merusak jasmani dan rohani umat manusia melebihi khamr. Dikarenakan tak ditemukan status hukum penyalahgunaan narkoba dalam al-Quran dan as-Sunnah, maka para ulama mujtahid menyelesaikannya dengan pendekatan qiyas (analogi hukum), yaitu qiyas jali. Qiyas jali adalah menyamakan sesuatu hukum yang lebih tinggi kepada sesuatu hukum yang lebih rendah disebabkan persamaan illat hukumnya.[49] Narkoba dianalogikan dengan khamr, karena sama-sama memabukan, bahkan narkoba lebih berbahaya dibanding khamr.
Sedangkan menurut Ahmad al-Syarbasi, bahwa tanpa diqiyaskan kepada khamr pun narkoba dapat dikategorikan sebagai khamr dan hukumnya haram untuk dikonsumsi, karena dapat menutupi akal.[50] Begitupun dengan perilaku inhalansia khususnya menghisap lem. Menghisap lem dapat menyebabkan pelakunya fly dan mabuk sehingga dampak yang ditimbulkan sama dengan narkoba ataupun khamr, yaitu dapat menghilangkan kesadaran dan akal sehat pelaku. Bahkan tanpa diqiyaskan dengan khamr ataupun disamakan dengan narkoba jelas bahwa hukum menghisap lem itu haram, ini disebabkan oleh efek yang ditimbulkannya lebih bahaya dari khamr ataupun narkoba. Sebagaimana Sabda Rasulullah Saw yang berbunyi sebagai berikut:[51]
عَن ابْنُ عُمَرَ أًنَّ رَشُؤْل الله صَلَى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّم قَلَ كُلُّ مٌسْكِرٍ خَمْرُ وَ كُلٌّ مُسْكِرٍ حَرَامٌ ( ﺭﻭﺍە ﻣﺴﻠﻢ )
Artinya:
Dari Ibnu Umar ra. bahwa Rasulullah Saw bersabda setiap yang memabukkan adalah arak dan setiap yang memabukkan adalah haram (riwayat muslim).
Ulama berbeda pendapat mengenai sanksi terhadap pelaku penyalahgunaan narkoba jika dilihat menurut hukum pidana Islam. Ada yang berpendapat sanksinya adalah had dan ada pula yang berpendapat sanksinya adalah ta’zir. Berikut penjelasannya:[52]
1.       Ibnu Taimiyah dan Azat Husnain berpendapat bahwa pelaku penyalahgunaa narkoba diberikan sanksi had karena narkoba diqiyaskan dengan khamr.
2.       Wahbah al-Zuhaili dan Ahmad al-Hasari berpendapat bahwa pelaku penyalahgunaan narkoba diberikan sanksi ta’zir, karena:
a.      Narkoba tidak ada pada masa Rasulullah Saw;
b.     Narkoba lebih berbahaya dibandingkan dengan khamr;
c.      Narkoba tidak diminum seperti halnya khamr.
Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) pun mengatakan bahwa sanksi bagi pelaku penyalahgunaan narkoba adalah ta’zir. Adapun penyalahgunaan narkoba mengakibatkan kerugian jiwa dan harta benda. Oleh karena itu, perlu dilakukan tindakan-tindakan berikut:[53]
1.       Menjatuhkan hukuman yang berat terhadap penjual, pengedar, dan penyelundup bahan-bahan narkoba. Jika perlu hukuman mati.
2.       Menjatuhkan hukuman berat terhadap aparat negara yang melindungi produsen atau pengedar narkoba.
3.       Membuat undang-undang mengenai penggunaan dan penyalahgunaan narkoba.
Syariat Islam melarang mengonsumsi khamr dan zat-zat sejenisnya. Proses pengharaman ini dilakukan melalui tahapan secara gradual sebanyak empat kali.[54]
Pertama, Allah Swt menurunkan ayat tentang khamr yang bersifat informatif semata. Hal ini dilakukan karena tradisi meminumnya sangat membudaya di masyarakat. Ayat yang diturunkan pertama kali adalah sebagai berikut:[55]
`ÏBur ÏNºtyJrO È@ϨZ9$# É=»uZôãF{$#ur tbräÏ­Gs? çm÷ZÏB #\x6y $»%øÍur $·Z|¡ym 3 ¨bÎ) Îû y7Ï9ºsŒ ZptƒUy 5Qöqs)Ïj9 tbqè=É)÷ètƒ  
Artinya:
“Dan dari buah korma dan anggur, kamu buat minuman yang memabukkan dan rezeki yang baik. Sesunggguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda (kebesaran Allah) bagi orang yang memikirkan.” (QS. An-Nahl (16): 67)
Kedua, diturunkannya ayat yang menjelaskan secara lebih lanjut mengenai khamr. Firman Allah:[56]
y7tRqè=t«ó¡o ÇÆtã ̍ôJyø9$# ÎŽÅ£÷yJø9$#ur ( ö@è% !$yJÎgŠÏù ÖNøOÎ) ׎Î7Ÿ2 ßìÏÿ»oYtBur Ĩ$¨Z=Ï9 !$yJßgßJøOÎ)ur çŽt9ò2r& `ÏB $yJÎgÏèøÿ¯R 3
Artinya:
“Mereka bertanya kepadamu (Muhammad) tentang khamr dan judi. Katakanlah: Pada keduanya terdapat dosa yang besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya.” (QS. Al-Baqarah (2): 219)
Apabila dibandingkan isi dan kandungan kedua ayat di atas, tampak jelas bahwa ayat yang kedua sudah menyentuh sisi manfaat dan mudharat. Ketika diturunkannya ayat ini, tradisi meminum khamr masih tetap berlangsung. Tidak hanya dilakukan oleh orang-orang kafir, tetapi juga dilakukan oleh sahabat-sahabat Nabi. Mengenai hal ini, al-Suyuthi memaparkan bahwa Ali bin Abi Thalib menceritakan Abdurrahman bin Auf mengundang kami untuk berpesta dan memberikan jamuan berupa khamr. Selanjutnya datanglah waktu shalat dan kami pun shalat. Salah seorang di antara kami menjadi imam. Karena imam masih setengah mabuk mengakibatkan bacaan shalat kami menjadi salah.[57]
Ketiga, diturunkan ayat yang menerangkan tentang proses pengharaman khamr. Allah berfirman:[58]
$pkšr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#qãYtB#uä Ÿw (#qç/tø)s? no4qn=¢Á9$# óOçFRr&ur 3t»s3ß
Artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam Keadaan mabuk.” (QS. An-Nisa (4): 43)
Mengenai proses pengharaman khamr ini, Imam Abu Daud dan at-Tirmidzi sebagaimana dikutip oleh al-Shabuni, Umar bin Khattab berdoa kepada Allah agar hukum tentang khamr dipertegas.[59]
اَللَّهُمَّ بَيْنَ لَنَا فِىْ الخَمْرِ بَيَانًا شَافِيًا
Artinya:
Ya Allah berikan kejelasan kepada kami tentang khamr dengan penjelasan yang tegas.
Keempat, diturunkannya satu ayat terakhir yang mengharamkan khamr. Ayat ini sekaligus menjadi jawaban dari doa Umar bin Khattab.[60]
$pkšr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#þqãYtB#uä $yJ¯RÎ) ãôJsƒø:$# çŽÅ£øŠyJø9$#ur Ü>$|ÁRF{$#ur ãN»s9øF{$#ur Ó§ô_Í ô`ÏiB È@yJtã Ç`»sÜø¤±9$# çnqç7Ï^tGô_$$sù öNä3ª=yès9 tbqßsÎ=øÿè?
Artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamr, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.” (QS. Al-Maidah (5): 90)
Imam Ash-Shan’ani berpendapat bahwa sesungguhnya semua perkara yang memabukkan hukumnya haram dari jenis apapun asalnya seperti ganja dan sebagainya. Ahli fikih berpendapat bahwa tidak ada perbedaan hukum antara yang cair dengan yang padat, semuanya tetap haram digunakan karena dapat memabukkan atau menghilangkan kesadaran.[61] Oleh karena itu, apapun yang memabukkan dan menghilangkan kesadaran maka itulah yang diharamkan.[62]
Mengenai sanksi meminum khamr, Ulama Hanafiah sebagaimana dipaparkan al-Zuhaili, membedakan antara sanksi sekedar meminum khamr dan sanksi mabuk. Artinya, sedikit atau banyaknya tetap saja haram dan peminum yang tidak mabuk dapat dikenai sanksi hukum.[63]
Sementara itu, Jumhur Ulama tidak memisahkan antara sanksi sekedar minum dan sanksi mabuk. Menurut mereka, setiap meminum (memakan) suatu zat yang dalam jumlah besarnya memabukkan maka sedikitnya tetap haram baik mabuk atau tidak.[64]
Pendapat kalangan Hanafiah inilah yang tampaknya dianut oleh Undang-Undang pidana di Mesir. Disana orang yang mabuk di tempat umum dapat dituntut pidana, tetapi kalau sembunyi-sembunyi tidak dapat dituntut. Hal inilah yang ia kritisi, bahwa Islam bukan hanya menghukum pemabuk tetapi juga peminum sekalipun tidak sampai mabuk, sebab dampak negatif dari khamr, narkoba, dan zat-zat adiktif lain sungguh sangat berbahaya bagi jasmani dan rohani.[65]
Mengenai sanksi pidana bagi peminum khamr, tidak disebutkan secara jelas dalam rangkaian ayat tentang pengharaman khamr di atas. dalam ayat terakhir ditegaskan “maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan”. Namun demikian dalam hadits disebutkan tentang sanksi bagi peminum khamr, yaitu:
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكِ أَنَّ النَّبِى صَلىَ اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ أُتِيَ بِرَجُلٍ قَدْ شَرِبَ اْلخَمْرِ فَجَلَدَهُ بِجَرِيدَ تَيْنِ نَحْوَ أَرْبَعِيْن
( ﺭﻭﺍە ﻣﺴﻠﻢ )
Artinya:
Dari Anas Bin Malik, bahwasanya Nabi Saw di datangi oleh seseorang yang telah meminum khamr. Beliau lalu mencambuknya dengan dua pelepah kurma sebanyak 40 (empat puluh) kali. (HR. Muslim)[66]
Dalam hadits di atas disebutkan bahwa alat yang digunakan untuk mencambuk adalah dua pelepah kurma, Imam an-Nawawi mengemukakan bahwa istilah dua pelepah kurma ini mengakibatkan pemahaman yang beragam. Sebagian memahami bahwa dua pelepah kurma itu dianggap sebagai alat semata, bukan jumlahnya. Dengan demikian, jumlah cambukannya sebanyak 40 (empat puluh) kali. Sementara itu sebagian yang lain memahami sebagai jumlah, bukan sebatas alat. Dengan demikian, jumlah cambukan yang sebanyak empat puluh kali itu dikalikan dua pelepah, sehingga jumlahnya delapan puluh kali.[67] Abu Daud meriwayatkan sebuah hadits, yaitu:[68]
عَنْ عَلِىْ رَضِيَ اللهُ عَنْهَ قَلَ جَلَدَ رَسُوْلُ اللهُ صَلىَ اللهُ  عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ  فِي الْخَمْرِ وَ أَبُوْ بَكْرٍ أَرْبَعِيْنَ وَ كَمَّلَهَا عُمَرُ شَمَا نِيْنَ وَ كُلٌّ سُنَّة ( ﺭﻭﺍە ﺍﺑﻮ ﺩﺍﻭﺩ)
Artinya:
Dari Ali ia berkata Nabi Saw mencambuk pelaku jarimah syurb al-khamr sebanyak 40 kali demikian juga Abu Bakar. Sementara itu, Umar menyempurnakannya menjadi 80 kali. Kedua-duanya merupakan sunnah. (HR. Abu dawud)
Hadits tentang ijtihad Umar Bin Khattab untuk menambah jumlah cambukan menjadi delapan puluh kali secara lebih mendetail dikemukakan dalam hadits berikut:[69]
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ أَنَ نَّبِيَّ الله صَلىَ اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ جَلَدَ فِي الْخَمْرِ بِا لْجَرِيْدِ وَ النِّعَالِ ثُمَّ جَلَدَ أبُوْ بَكْرٍ أَرْبَعِيْنَ فَلَمَّا كَانَ عُمَرُ وَدَنَا النَّاسُ مِنْ الرَّيْفِ وَالْقُرَى قَالَ مَا تَرَوْنَ فِي جَلْدِ الْخَمْرِ فَقَا لَ عَبْدُالرَّحْمَنِ بْنِ عَوْفٍ أَرَى أَنْ تَجْعَلَهَا كَأَ خَفِّ الْحُدُوْدِ قَالَ فَجَلَدَ عُمَرُ ثَمَانِيْنَ ( ﺭﻭﺍە ﻣﺴﻠﻢ )
Artinya:
Dari Anas Bin Malik sesungguhnya Nabi Saw mencambuk pelaku jarimah syurb al-khamr dengan pelepah kurma dan sandal. Kemudian Abu Bakar juga mencambuk sebanyak 40 kali. Sementara itu pada masa pemerintahan Umar, orang-orang berdatangan dari dusun dan kampung-kampung. Umar bertanya, “Bagaimana menurut kalian tentang sanksi pelaku syurb al-khamr (meminum minuman keras)?” Abdurrahman Bin Auf menjawab, “menurut saya sebaiknya engkau menetukannya sama dengan hudud yang paling ringan.”[70] Umar berkata, “Umar mencambuk sebanyak 80 kali.” (HR. Muslim)
Dari beberapa hadits di atas dapat diketahui bahwa sanksi bagi jarimah syurb al-khamr ada dua, yaitu empat puluh kali cambukan dan delapan puluh kali cambukan dari sinilah para fuqaha berbeda pendapat. Jumhur Fuqaha berpendapat sanksinya delapan puluh kali cambukan, sedangkan kelompok Syafiiyah berpendapat sanksinya empat puluh kali cambukan.[71]
Jumhur Fuqaha disamping berpegangan pada kebijakan Umar Bin Khattab di atas, juga beragumentasi dengan ucapan Ali yang mengatakan:
ﺇذَا شَرِبَ سَكِرَ وَاِذَا سَكِرَ هَذَى وَاِذَا هَذَى افْتَرَى وَحَدُّالْمُفْتَرَى ثَمَانُوْنَ
Artinya:
Seseorang kalau meminum khamr, ia akan mabuk. Kalau sudah mabuk, ia akan mengigau, ia akan mengada-ada (menuduh). Adapun sanksi bagi penuduh adalah delapan puluh kali cambukan.[72]
Sementara itu, ulama Syafiiyah berpendapat bahwa sanksi bagi pelaku jarimah syurb al-khamr adalah empat puluh kali cambukan. Imam As-Syafii berpendapat bahwa penambahan had dari empat puluh kali menjadi delapan puluh kali bagi pelaku jarimah syurb al-khamr adalah wewenang penguasa.[73]
Sebagai seorang tokoh Fiqh Jinayah, Abdul Qadir Audah mengemukakan bahwa ulama berbeda pandangan dalam memahami substansi khamr. Menurut Imam Malik, Al-Syafii dan Ahmad meminum atau memakan sesuatu yang memabukkan, baik yang diberi nama khamr maupun tidak, baik bahan bakunya dari anggur maupun beras atau baik unsur memabukkannya banyak maupun sedikit tetap saja haram.[74]
Sementara itu, menurut Imam Abu Hanifah yang diharamkan hanya jenis minuman yang bernama khamr, baik dalam jumlah besar maupun kecil. Menurutnya ada tiga hal yang termasuk dalam kategori khamr, yaitu sebagai berikut:[75]
a.        Air anggur yang telah mendidih dan mengeluarkan buih. Akan tetapi, menurut Abu Yusuf dan Muhammad bin Hasan al-Syaibani air anggur ketika telah mendidih sudah menjadi khamr, walaupun tidak mengeluarkan buih.
b.       Air anggur yang telah direbus dan yang tersisa kurang dari dua per tiga, telah berubah menjadi khamr, baik basah maupun kering.
c.        Perasan kedelai ketika telah mendidih dan mengeluarkan buih. Akan tetapi menurut Abu Yusuf dan Muhammad bin Hasan Al-Syaibani, perasan itu telah menjadi khamr meskipun belum mengeluarkan buih.
Dalil yang digunakan oleh Abu Hanifah untuk mendukung pendapatnya adalah hadits berikut:[76]
عَنْ أَبي هُرَيْرَةَ قل رَسُوْلٌ الله صَلَ الله عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ الْخَمْرُ مِنْ هَا تَيْنِ الشَّجَرَتَيْنِ الْكَرْمَةِ وَ النَّخَلَةِ (ﺭﻭﺍە ﻣﺴﻠﻢ)
Artinya:
Dari Abu Hurairah ra. Ia berkata “aku mendengar Rasulullah Saw bersabda, khamr itu berasal dari dua pohon, anggur dan kurma.” (HR. Muslim)


2.     Ketentuan Pidana Islam Terhadap Pelaku Inhalansia (Hisap Lem)
Inhalansia (hisap lem) merupakan suatu zat yang dapat merusak mental dan psikis serta menimbulkan efek yang sama dengan narkoba, bahkan lem ini lebih bahaya. Umumnya lem ini digunakan oleh anak di bawah umur terutama di kalangan anak jalanan serta golongan kurang mampu. Hal ini sesuai dengan yang diungkap oleh Juliana Lisa dan Nengah Sutrisna dalam bukunya yang berjudul “Narkoba, Psikotropika dan Gangguan Jiwa (Tinjauan Kesehatan & Hukum)”.[77] Berdasarkan hal tersebut, penulis memfokuskan penjelasan terhadap anak sebagai pelaku inhalansia (hisap lem).
a.      Pengertian Anak
Istilah anak memiliki pengertian yang berbeda-beda, walaupun pada hakekatnya maksud dari pengertian tersebut adalah sama. Anak secara bahasa memiliki pengertian yaitu manusia yang masih kecil, keturunan yang kedua (yang lebih kecil dari pada yang lain).[78]
Dalam ensiklopedia hukum Islam anak berarti keturunan yang kedua, orang yang lahir dari rahim seorang ibu, baik laki-laki maupun perempuan atau khunsa, sebagai hasil dari persetubuhan antara dua lawan jenis, anak yang lahir dari hubungan yang sah.[79]
Menurut kamus lengkap psikologi pengertian anak adalah seseorang yang belum mencapai tingkat kedewasaan, bergantung pada sifat referensinya. Istilah tersebut bisa berarti seorang individu di antara kelahiran dan masa pubertas atau seorang individu di antara kanak-kanak (masa pertumbuhan, masa kecil) dan masa pubertas.[80]
Dalam Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menyatakan bahwa anak adalah seorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin.[81] Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 tentang Peradilan Anak memberikan defenisi anak yaitu orang yang dalam perkara anak nakal telah mencapai umur 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai umur delapan belas (18) tahun dan belum pernah kawin.[82]
Selanjutnya, Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 menentukan bahwa perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Perlindungan anak dapat juga diartikan sebagai segala upaya yang bertujuan mencegah, rehabilitasi, dan memberdayakan anak yang mengalami tindak perlakuan salah (child abused), eksploitasi, dan penelantaran, agar dapat menjamin kelangsungan hidup dan tumbuh kembang anak secara wajar baik fisik, mental, dan sosialnya.[83]
Sebelum lahirnya Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, pada dasarnya anak-anak yang bermasalah dikategorikan dalam istilah kenakalan anak, yang mengacu pada Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 tentang Peradilan Anak.[84] Setelah diundangkannya Undang-Undang Perlindungan Anak maka istilah tersebut berubah menjadi anak yang berkonflik dengan hukum (ABH), dan saat ini Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak pun menggunakan istilah anak yang berkonflik dengan hukum.[85]
Berdasarkan pasal 1 butir 2 Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, yang dimaksud dengan anak nakal adalah:[86]
a)     Anak yang melakukan tindak pidana, atau
b)     Anak yang melakukan perbuatan yang dinyatakan dilarang bagi anak, baik menurut perundang-undangan maupun menurut peraturan hukum lain yang hidup dan berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan.
Ada dua kategori perilaku anak yang membuatnya harus berhadapan dengan hukum, yaitu:[87]
1)      Status offence adalah perilaku kenakalan anak yang apabila dilakukan oleh orang dewasa tidak dianggap sebagai kejahatan, seperti tidak menurut, membolos sekolah atau kabur dari rumah;
2)      Juvenile Deliquency adalah perilaku kenakalan anak yang apabila dilakukan oleh orang dewasa dianggap kejahatan atau pelanggaran hukum.
Pada dasarnya anak-anak memiliki kondisi kejiwaan yang labil untuk melalui proses kemantapan psikis sehingga menghasilkan sikap kritis, agresif dan menujukkan tingkah laku yang cenderung bertindak mengganggu ketertiban umum. Ada beberapa faktor penyebab yang paling mempengaruhi timbulnya kejahatan anak, yaitu:[88]
1)     Faktor lingkungan.
2)     Faktor ekonomi/sosial.
3)     Faktor psikologis.
Kenakalan anak disebut juga dengan Juvenile Deliquency. Juvenile (dalam bahasa Inggris) atau yang dalam bahasa Indonesia berarti anak-anak; anak muda, sedangkan deliquency artinya terabaikan/mengabaikan yang kemudian diperluas menjadi jahat, kriminal, pelanggar peraturan dan lain-lain.[89] Sedangkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia delikuensi diartikan sebagai tingkah laku yang menyalahi secara ringan norma dan hukum yang berlaku dalam suatu masyarakat.[90]
Pengertian Juvenile Deliquency menurut Kartini Kartono adalah perilaku jahat/dursila, atau kejahatan/kenakalan anak-anak muda, merupakan gejala sakit (patologi) secara sosial pada anak-anak dan remaja yang disebabkan oleh suatu bentuk pengabaian sosial, sehingga mereka itu mengembangkan bentuk pengabaian tingkah laku yang menyimpang.[91] Sedangkan Juvenile Deliquency menurut Romli Atmasasmita adalah setiap perbuatan atau tingkah laku seseorang anak dibawah umur 18 (delapan belas) tahun dan belum kawin yang merupakan pelanggaran terhadap norma-norma hukum yang berlaku serta dapat membahayakan perkembangan pribadi si anak yang bersangkutan.[92] Menurut Sarwono Juvenile Deliquency diartikan sebagai kenakalan anak, akan tetapi berdasarkan kenyataan yang berkembang di masyarakat anak dalam pengertian tersebut juga meliputi remaja.[93] Menurut Prof. Dr. Fuad Hassan kenakalan remaja adalah perbuatan anti sosial yang dilakukan anak atau remaja yang bilamana dilakukan oleh orang dewasa diklasifikasikan sebagai perbuatan pidana.[94]

b.     Ketentuan Pidana Islam Terhadap Anak Inhalansia (Hisap Lem)
Hukum Islam dipandang sebagai hukum pertama di dunia yang membedakan secara sempurna antara anak kecil dan orang dewasa dari segi tanggung jawab pidana. Hukum Islam juga merupakan hukum pertama yang meletakkan tanggung jawab anak-anak yang tidak berubah dan berevolusi sejak dikeluarkannya. Ironisnya, meski telah dikeluarkan sejak empat belas abad yang lalu, hukuman ini dianggap sebagai hukum terbaru dalam hal pertanggungjawaban anak kecil (belum dewasa) pada masa sekarang ini.[95]
Berbeda halnya dengan hukum pidana yang diberlakukan di Indonesia, dalam hukum pidana Islam seorang anak tidak akan dikenakan hukuman atas apa yang dilakukannya apabila melanggar hukum, karena tidak ada beban tanggung jawab hukum terhadap seorang anak umur berapapun sampai dia mencapai umur dewasa (baligh), hakim hanya berhak menegur kesalahannya atau menerapkan beberapa pembatasan baginya yang akan membantu memperbaikinya dan menghentikannya dari membuat kesalahan dimasa yang akan datang.[96]
Dalam hukum pidana Islam, meskipun jelas ditegaskan bahwa seseorang tidak bertangtanggung jawab kecuali terhadap jarimah (kejahatan) yang telah diperbuatnya sendiri dan juga tidak bertanggung jawab atas perbuatan jarimah orang lain bagaimanapun dekatnya tali kekeluargaan atau tali persahabatan antara dirinya dan orang lain tersebut. Akan tetapi untuk masalah anak, Islam memiliki pengecualian tersendiri, dalam al-Qur’an maupun as-Sunnah sendiri telah diterangkan bahwa seorang anak tidak dapat dimintakan pertanggungjawaban sebelum dia dewasa (baligh).[97]
Pertanggungjawaban pidana dalam hukum Islam terdiri atas dua unsur utama yaitu: Kekuatan berpikir (idrak) dan Pilihan (ikhtiar). Karena itu, hukum bagi anak kecil berbeda seiring dengan perbedaan fase-fase yang dilalui oleh manusia semenjak lahirnya sampai pada waktu sempurnanya kekuatan berpikir dan pilihan. Ketika dilahirkan manusia menurut tabiatnya memiliki kekuatan akal (idrak) dan pilihan (ikhtiar) yang lemah kemudian keduanya sedikit demi sedikit mulai terbentuk hingga akhirnya manusia dapat memahami sampai batas waktu tertentu hingga akhirnya pertumbuhan akalnya menjadi sempurna.[98]
Atas dasar adanya tahapan-tahapan dalam membentuk idrak (kekuatan berpikir) ini, dibuatlah kaidah tanggungjawab pidana. Ketika kekuatan berpikir tidak ada pada diri manusia, tanggung jawab pidana juga tidak ada.  Ketika kekuatan berpikirnya lemah, yang dijatuhkan padanya bukan tanggung jawab pidana, melainkan hukuman untuk mendidik. Ketika kekuatan berpikirnya sempurna, manusia barulah mempunyai tanggung jawab pidana.[99]
Berikut fase-fase yang dilalui manusia dari sejak lahir sampai usia dewasa yang terdiri atas tiga fase, yaitu:
a)     Fase tidak adanya kemampuan berpikir (idrak)
Sesuai dengan kesepakatan fuqaha fase ini dimulai sejak manusia dilahirkan dan berakhir sampai usia tujuh tahun. Pada fase ini seorang anak dianggap tidak mempunyai kekuatan berpikir. Ia pun disebut anak yang belum mumayyiz.[100]
Anak dianggap belum mumayyiz jika usianya belum sampai tujuh tahun meskipun ada anak di bawah usia tujuh tahun lebih cepat untuk dapat membedakan yang baik dan yang buruk (tamyiz) daripada anak lain seusianya. Ini karena hukum didasari atas kebanyakan orang, bukan atas perseorangan. Hukum pada kebanyakan orang menegaskan bahwa tamyiz belum dianggap ada pada diri seorang anak sebelum ia berusia tujuh tahun. Karenanya apabila anak kecil melakukan tindak pidana apapun sebelum ia berusia tujuh tahun, dia tidak dihukum baik pidana maupun hukuman ta’dibiy (hukuman untuk mendidik).[101]
b)     Fase kemampuan berpikir lemah
Fase ini dimulai sejak anak berusia tujuh tahun sampai ia mencapai baligh. Mayoritas fuqaha membatasinya pada usia lima belas tahun. Apabila seorang anak telah menginjak usia usia tersebut, ia dianggap telah dewasa secara hukum meskipun dia belum dewasa dalam arti yang sebenarnya.[102]
Dalam fase ini anak kecil yang telah mumayyiz tidak bertanggung jawab secara pidana atas tindak pidana yang dilakukannya. Dia tidak dijatuhi hukuman hudud bila ia mencuri atau berzina, misalnya. Dia juga tidak dihukum atas qishash bila membunuh atau melukai, tetapi dikenai tanggung jawab ta’dibiy yaitu hukuman yang bersifat mendidik atas pidana yang dilakukannya.[103]
c)     Fase kekuatan berpikir penuh
Fase ini dimulai sejak si anak menginjak usia kecerdasan (dewasa), yaitu kala menginjak usia lima belas tahun menurut pendapat mayoritas fuqaha, atau berusia delapan tahun menurut pendapat Imam Abu Hanifah dan pendapat yang populer dalam Mazhab Maliki. Pada fase ini, seseorang dikenai tanggung jawab pidana atas tindak pidana yaang dilakukannya, apapun jenisnya. Dia dijatuhi hukuman hudud apabila dia berzina atau mencuri dan diqishas apabila dia membunuh atau melukai, demikian pula dijatuhi hukuman ta’zir apabila melakukan tindak pidana ta’zir.[104]
Selanjutnya, pertanggungjawaban pidana diartikan sebagai pembebanan seseorang dengan akibat perbuatan atau tidak adanya perbuatan yang dikerjakannya dengan kemauan sendiri, dimana seseorang tersebut mengetahui maksud dan akibat dari perbuatannya itu. Apabila hal tersebut dalam arti pertanggungjawaban pidana terpenuhi maka terdapat pula pertanggungjawaban pidana. Dengan demikian orang gila, anak di bawah umur, orang yang dipaksa dan terpaksa tidak dibebani pertanggungjawaban, karena dasar pertanggungjawaban bagi mereka tidak ada.[105]
Pertanggungjawaban ini diartikan sebagai kekuatan berfikir (idrak) dan pilihan (ikhtiar). Sehubungan dengan dua hal tersebut maka kedudukan anak di bawah umur berbeda-beda sesuai dengan perbedaan masa yang dilaluinya dalam kehidupannya, semenjak dia lahir sampai dia mempunyai kedua perkara tersebut. Hukum pidana Islam mengampuni anak-anak dari hukuman yang semestinya dijatuhkan bagi orang dewasa kecuali jika dia telah baligh. Hal ini berdasarkan firman Allah Swt. Sebagai berikut:
#sŒÎ)ur x÷n=t/ ã@»xÿôÛF{$# ãNä3ZÏB zOè=ßsø9$# (#qçRÉø«tFó¡uù=sù $yJŸ2 tbxø«tGó$# šúïÏ%©!$# `ÏB ŸNÎgÎ=ö6s% 4 šÏ9ºxx. ßûÎiüt7ムª!$# öNà6s9 ¾ÏmÏG»tƒ#uä 3 ª!$#ur íOŠÎ=tæ ÒOŠÅ6ym  
Artinya:
“Dan apabila anak-anakmu telah sampai umur baligh, maka hendaklah mereka meminta izin, seperti orang-orang yang sebelum mereka meminta izin. Demikianlah Allah menjelaskan ayat-ayat-Nya. Dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (QS. An-Nur (24): 59)
Ayat tersebut adalah firman Allah yang memberi peringatan bahwa membebani seseorang dengan hukum-hukum Syari’at adalah apabila orang tersebut telah sampai umur (baligh), dan sampai umur itu adalah dengan mimpi (laki-laki bermimpi mengeluarkan sperma) dan haid bagi perempuan atau dengan umur 15 (lima belas) tahun. Anak-anak yang telah sampai umur tidak boleh memasuki kamar orang tuanya tanpa izin terlebih dahulu, sama halnya dengan orang lain.[106] Sehingga para ulama berpendapat bahwa batas usia sampai umur baligh adalah 15 (lima belas) tahun.[107] Namun disatu sisi, terjadi ikhtilaf (perbedaan) pandangan diantara para ulama dalam penentuan umur dimana seorang anak dianggap baligh tersebut. Dalam tulisan Ihsan Badroni dikemukakan ada beberapa pendapat tentang penentuan batas umur tersebut, yaitu:
1.     Mazhab Hanafi
Mereka berpendapat bahwasannya seorang laki-laki tidak dipandang baligh sebelum ia mencapai usia 18 tahun. Adapun hujjahnya adalah:
Ÿwur (#qç/tø)s? tA$tB ÉOŠÏKuŠø9$# žwÎ) ÓÉL©9$$Î/ }Ïd ß`|¡ômr& 4Ó®Lym x÷è=ö7tƒ ¼çn£ä©r& ( (#qèù÷rr&ur Ÿ@øx6ø9$# tb#uÏJø9$#ur ÅÝó¡É)ø9$$Î/ ( Ÿw ß#Ïk=s3çR $²¡øÿtR žwÎ) $ygyèóãr ( #sŒÎ)ur óOçFù=è% (#qä9Ïôã$$sù öqs9ur tb%Ÿ2 #sŒ 4n1öè% ( ÏôgyèÎ/ur «!$# (#qèù÷rr& 4 öNà6Ï9ºsŒ Nä38¢¹ur ¾ÏmÎ/ ÷/ä3ª=yès9 šcr㍩.xs?
Artinya:
“Dan janganlah kamu dekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih bermanfaat, hingga sampai ia dewasa. Dan sempurnakanlah takaran dan timbangan dengan adil. Kami tidak memikulkan beban kepada sesorang melainkan sekedar kesanggupannya. Dan apabila kamu berkata, maka hendaklah kamu Berlaku adil, kendatipun ia adalah kerabat(mu), dan penuhilah janji Allah. Yang demikian itu diperintahkan Allah kepadamu agar kamu ingat.” (QS. Al-An’am (6):152)
Kedewasaan anak laki-laki sebagaimana yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas adalah dari usia 18 tahun. Adapun anak perempuan perkembangan dan kesadarannya adalah lebih cepat. Oleh sebab itu usia awal kedewasaannya dikurangi satu tahun sehingga anak perempuan menjadi dewasa pada usia 17 tahun.[108]


2.     Mazhab Syafii dan Hambali
Keduanya berpendapat bahwa bila seorang anak laki-laki dan perempuan apabila telah sempurna berusia 15 tahun, kecuali bagi laki-laki yang sudah ihtilam dan perempuan yang sudah haid sebelum usia 15 tahun maka keduanya dinyatakan telah baligh. Mereka juga berhujjah dengan apa yang diriwayatkan dari Ibnu Umar bahwa dirinya diajukan kepada Nabi saw pada hari perang Uhud sedang ia ketika itu berusia 14 tahun, kemudian Nabi tidak memperkenankannya ikut dalam peperangan. Setelah setahun dirinya mengajukan kembali pada hari perang Khandak yang ketika itu ia telah berumur 15 tahun dan diperkenankan oleh Nabi untuk perang Khandak.[109]
3.     Mazhab Maliki
Pendapat yang terkenal dalam mazhab Maliki adalah 18 tahun sebagaimana yang dikemukakan oleh Abu Hanifah, bahwa orang tersebut harus mempunyai ahliyah (kecakapan) untuk melaksanakan ketentuan hukum kepadanya. Dan usia 18 tahun merupakan pedoman dimana anak dianggap mampu dan memiliki kecakapan tersebut.[110]
Sementara itu, sebagaimana dijelaskan oleh as-Sayyid Sabiq seorang anak akan dikenai hukum secara penuh apabila dia telah mencapai kesempurnaan akal atau biasa disebut usia baligh. Usia baligh dalam Islam ditandai beberapa hal diantaranya dengan sudah bermimpi mengeluarkan sperma bagi pria atau mengeluarkan haid bagi wanita, tumbuhnya rambut halus di sekitar kemaluan, atau jika belum ada satu diantara tanda tersebut maka digenapkan sampai usia 15 tahun.[111]
Perbedaan pendapat di antara fuqaha dalam menentukan usia baligh adalah disebabkan oleh para fuqaha tersebut  menentukan usia dewasa berdasarkan sabda Rasulullah Saw. berikut:[112]
يُفِيْقَ حَتَّى المَجْنُوْنِ وَعَنِ يَحْتَلِمَ حتَّى الصَّبِّيِّ وَعَنِ يَسْتيْقِظَ حَتَّى ئِمِ النَّا عَنِ :ثَلَاثٍ عَنْ القَلَمُ رُفِعَ
Artinya:
“diangkatkan pembebanan hukum dari tiga (jenis) orang: anak kecil sampai ia baligh, orang tidur sampai ia bangun, dan orang gila sampai ia sembuh / sadar”
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa di dalam Islam pertanggungjawaban pidana bagi anak yang belum baligh tidak ada pembebanan hukum terhadap dirinya. Sehingga bagi anak-anak yang berkonflik dengan hukum di dalam Islam dapat dijatuhi hukuman berupa hukuman ta’zir, yaitu hukuman / sanksi yang diberlakukan kepada pelaku jarimah yang melakukan pelanggaran (baik berkaitan dengan hak Allah maupun hak manusia) dan tidak termasuk ke dalam kategori hukuman hudud atau kaffarat. Karena ta’zir tidak ditentukan secara langsung oleh al-Quran dan as-Sunnah, maka ini menjadi kompetensi penguasa setempat. Dalam memutuskan jenis dan ukuran sanksi ta’zir harus tetap memperhatikan petunjuk nash secara teliti karena menyangkut kemaslahatan umum.[113] Tindak pidana ta’zir adalah tindak pidana yang diancamkan dengan satu atau beberapa hukuman ta’zir. Yang dimaksud dengan ta’zir adalah ta’dibiy  yaitu memberikan pendidikan (pendisiplinan).[114]
Ta’zir adalah bentuk mashdar dari kata ﻋٙﺰٙﺭٙ-ﻳٙﻌٛﺰِﺭُ yang secara etimologis berarti menolak dan mencegah. Kata ini juga memiliki arti ﻧٙﺼٙﺮٙەُ yaitu menolong atau menguatkan.[115]
Abdul Qadir Audah dalam al-Tasyri’ al-Jina’i al-Islamiy Muqaranan bi al-Qanun al-Wadh’i sebagaimana dikutip oleh Nurul Irfan dan Masyrofah dalam bukunya Fiqh Jinayah memberikan definisi ta’zir yaitu pengajaran yang tidak diatur oleh hudud dan merupakan jenis sanksi yang diberlakukan karena melakukan beberapa tindak pidana yang oleh syariat tidak ditentukan dengan sebuah sanksi hukuman tertentu.[116]
Selanjutnya, Wahbah al-Zuhaili dalam kitab al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu sebagaimana dikutip oleh Nurul Irfan dan Masyrofah dalam bukunya Fiqh Jinayah mengartikan sanksi-sanksi ta’zir adalah hukuman-hukuman yang secara syara’ tidak ditegaskan mengenai ukurannya. Syariat Islam menyerahkannya kepada penguasa negara untuk menentukan sanksi terhadap pelaku tindak pidana yang sesuai dengan kejahatannya.[117]
Hukum Islam tidak menentukan macam-macam hukuman untuk tiap-tiap tindak pidana ta’zir, tetapi hanya menyebutkan sekumpulan hukuman, dari yang paling ringan sampai yang paling berat. Dalam hal ini hakim diberi kewenangan dan kebebasan untuk memilih hukuman-hukuman yang sesuai dengan macam tindak pidana ta’zir serta keadaan si pelaku. Singkatnya, hukuman-hukuman tindak pidana ta’zir tidak mempunyai batasan tertentu.[118]
Adapun sebagian besar dari tindak pidana ta’zir diserahkan kepada penguasa untuk menentukannya. Meskipun demikian, hukum Islam tidak memberikan wewenang kepada penguasa untuk dapat menentukan tindak pidana dengan sekehendak hati, tetapi harus sesuai dengan kepentingan-kepentingan masyarakat dan tidak boleh berlawanan dengan nash-nash / ketentuan serta prinsip-prinsip umum hukum Islam.[119] Maksud syarak memberikan hak penentuan tindak pidana ta’zir kepada para penguasa (dalam batasan-batasan tersebut) adalah agar mereka dapat mengatur masyarakat dan memelihara kepentingan-kepentingannya serta bisa menghadapi keadaan yang mendadak dengan sebaik-baiknya.[120]
Berikut tujuan diberlakukannya sanksi ta’zir :[121]
a.      Preventif (pencegahan). Ditujukan bagi orang lain yang belum melakukan jarimah;
b.     Represif (membuat pelaku jera). Dimaksudkan agar pelaku tidak mengulangi perbuatan jarimah di kemudian hari;
c.      Kuratif (islah). Ta’zir harus mampu membawa perbaikan perilaku terpidana di kemudian hari;
d.     Edukatif (pendidikan). Diharapkan dapat mengubah pola hidupnya ke arah yang lebih baik.
Ta’zir berlaku atas semua orang yang melakukan kejahatan. Syaratnya adalah berakal sehat. Tidak ada perbedaan baik laki-laki maupun perempuan, dewasa maupun anak-anak, atau kafir maupun Islam. Setiap orang yang melakukan kemungkaran atau menganggu pihak lain dengan alasan yang tidak dibenarkan baik itu dilakukan dengan perbuatan, ucapan ataupun isyarat perlu diberi sanksi ta’zir agar tidak mengulangi perbuatannya.[122] Seperti penyalahgunaan fungsi lem oleh anak yang masih di bawah umur untuk mabuk. Maka dalam kasus yang seperti ini diberlakukan hukuman ta’zir.
D.      Inhalansia (Hisap Lem) dalam Hukum Pidana Indonesia
Sebagaimana telah dipaparkan sebelumnya inhalansia merupakan salah satu zat yang tergolong ke dalam zat adiktif. Zat adiktif adalah salah satu zat yang tergolong ke dalam narkoba. Di Indonesia memang belum ada aturan khusus yang dikeluarkan oleh pemerintah terkait permasalahan inhalansia. Akan tetapi jika dilihat dari zat yang terkandung di dalam lem yang sering digunakan remaja dan anak untuk mabuk maka inhalansia (hisap lem) tersebut dapat digolongkan ke dalam bentuk NAPZA. Adapun penggolongan jenis-jenis NAPZA berdasarkan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku yaitu Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dan Undang-Undang No. 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika, sebagai berikut:[123]
a.       Narkotika
a)       Narkotika golongan I yaitu: heroin, kokain, ganja dan putau merupakan heroin tidak murni berupa bubuk.
b)      Narkotika golongan II yaitu: morfin dan petidin.
c)       Narkotika golongan III yaitu: kodein.
b.       Psikotropika
a)       Psikotropika golongan I yaitu: MDMA (ekstasi), LSD (Lysergic Acid Diethylamide), dan STP.
b)      Psikotropika golongan II yaitu: amfetamin, metamfetamin (sabu), fensliklidin, dan ritalin.
c)       Psikotropika golongan III yaitu: pentobarbital dan flunitrazepam.
d)      Psikotropika golongan IV yaitu: diazepam, klobazam, fenobarbital, barbital, klorazepam, klordiazepoxide dan nitrazepam (nipam, pil BK/koplo, DUM, MG, lexo dan rohyp).
Salah satu zat yang terdapat di dalam lem “aica aibon” adalah LSD (Lysergic Acid Diethylamide). LSD merupakan salah satu zat yang tergolong ke dalam psikotropika golongan I.[124] Zat ini dapat mempengaruhi pusat susunan saraf. Selain itu, di dalam bukunya Andi Hamzah menyatakan bahwa LSD (Lysergic Acid Diethylamide) merupakan zat sejenis narkotika.[125]
Ketentuan pidana terkait penggunaan narkotika/obat-obatan terlarang diatur dalam Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika sebagai berikut:[126]
a.       Terhadap pengguna narkotika golongan 1 diatur dalam pasal 116 ayat (1) dan (2)
(1)        Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menggunakan narkotika golongan I terhadap orang lain atau memberikan narkotika golongan I untuk digunakan orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp. 10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).
(2)        Dalam hal penggunaan narkotika terhadap orang lain atau pemberian narkotika golongan I untuk digunakan orang lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang lain mati atau cacat permanen, pelaku dipidana dengan pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga).

b.       Terhadap pengguna narkotika golongan II diatur dalam pasal 121 ayat (1) dan (2)
(1)        Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menggunakan narkotika golongan II tehadap orang lain atau memberikan narkotika golongan II untuk digunakan orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 8.000.000.000,00 (delapan miliar rupiah).
(2)        Dalam hal penggunaan narkotika terhadap orang lain atau pemberian narkotika golongan II untuk digunakan orang lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang lain mati atau cacat permanen, pelaku dipidana dengan pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga).

c.       Terhadap pengguna narkotika golongan III diatur dalam pasal 126 ayat (1) dan (2)
(1)        Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menggunakan narkotika golongan III tehadap orang lain atau memberikan narkotika golongan III untuk digunakan orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
(2)        Dalam hal penggunaan narkotika tehadap orang lain atau pemberian narkotika golongan III untuk digunakan orang lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang lain mati atau cacat permanen, pelaku dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga).
Adapun sanksi bagi orang yang menggunakan psikotropika diluar tujuan pengembangan ilmu pengetahuan seperti yang diatur dalam pasal 59 ayat (1) Undang-Undang No. 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika, adalah sama dengan sanksi yang dijatuhkan bagi produsen dan pengedar psikotropika, baik yang dilakukan secara individu, terorganisasi dan korporasi. Berikut pasal 59 ayat (1) Undang-Undang No. 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika:[127]
Barangsiapa:
a.      Menggunakan psikotropika golongan I selain untuk tujuan ilmu pengetahuan; atau
b.     Memproduksi dan/atau menggunakan dalam proses produksi psikotropika golongan I sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6; atau
c.      Mengedarkan psikotropika golongan I tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (3); atau d. Mengimpor psikotropika golongan I selain untuk kepentingan ilmu pengetahuan; atau
d.     Secara tanpa hak memiliki, menyimpan dan/atau membawa psikotropika golongan I dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun, paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah), dan paling banyak Rp. 750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah).
Selanjutnya, dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1997 tentang psikotropika menyatakan bahwa jika tindak pidana psikotropika dilakukan dengan menggunakan anak yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun dan belum menikah atau orang yang di bawah pengampuan atau ketika melakukan tindak pidana belum lewat dua tahun sejak selesai menjalani seluruhnya atau sebagian pidana penjara yang dijatuhkan kepadanya, ancaman pidana ditambah sepertiga pidana yang berlaku untuk tindak pidana tersebut.[128]
Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika juga diatur tentang penyalahgunaan narkotika oleh anak:
(1)  orang tua atau wali dari Pecandu Narkotika yang belum cukup umur wajib melaporkan kepada pusat kesehatan masyarakat, rumah sakit, dan/atau lembaga rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial yang ditunjuk oleh Pemerintah untuk mendapatkan pengobatan dan/atau perawatan melalui rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial.[129]
(2)  Pecandu Narkotika yang sudah cukup umur wajib melaporkan diri atau dilaporkan oleh keluarganya kepada pusat kesehatan masyarakat, rumah sakit, dan/atau lembaga rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial yang ditunjuk oleh Pemerintah untuk mendapatkan pengobatan dan/atau perawatan melalui rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial.[130]
Selanjutnya orang tua atau wali dari pecandu yang belum cukup umur, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (1) yang sengaja tidak melapor, dipidana dengan pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak Rp. 1.000.000,00 (satu juta rupiah).[131] Selanjutnya dikatakan bahwa pecandu narkotika yang belum cukup umur dan telah dilaporkan oleh orang tua atau walinya sebagaimana dimaksud dalam pasal 55 ayat (1) tidak dituntut pidana.[132]
Dalam Undang-Undang No. 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, menyatakan bahwa:
(1)  Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan lembaga negara lainnya berkewajiban dan bertanggung jawab untuk memberikan Perlindungan Khusus kepada Anak.[133]
(2)  Perlindungan Khusus kepada Anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan kepada:
a.      Anak dalam situasi darurat;
b.     Anak yang berhadapan dengan hukum;
c.      Anak dari kelompok minoritas dan terisolasi;
d.     Anak yang dieksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual;
e.      Anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat adiktif lainnya;
f.      Anak yang menjadi korban pornografi;
g.     Anak dengan HIV/AIDS;
h.     Anak korban penculikan, penjualan, dan/atau perdagangan;
i.       Anak korban Kekerasan fisik dan/atau psikis;
j.       Anak korban kejahatan seksual;
k.     Anak korban jaringan terorisme;
l.       Anak Penyandang Disabilitas;
m.   Anak korban perlakuan salah dan penelantaran;
n.     Anak dengan perilaku sosial menyimpang; dan
o.     Anak yang menjadi korban stigmatisasi dari pelabelan terkait dengan kondisi Orang Tuanya.[134]
Selanjutnya dalam pasal 59A dikatakan bahwa:
Perlindungan Khusus bagi Anak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (1) dilakukan melalui upaya:
a.       Penanganan yang cepat, termasuk pengobatan dan/atau rehabilitasi secara fisik, psikis, dan sosial, serta pencegahan penyakit dan gangguan kesehatan lainnya;
b.       Pendampingan psikososial pada saat pengobatan sampai pemulihan;
c.       Pemberian bantuan sosial bagi Anak yang berasal dari Keluarga tidak mampu; dan
d.       Pemberian perlindungan dan pendampingan pada setiap proses peradilan.[135]


  

       


  



[1] Aerosol merupakan larutan obat yang diuapkan untuk bahan terapi (Kamus Kedokteran, Dr. Med. Ahmad Ramali).
[2] Julianan Lisa FR, Nengah Sutrisna W, Narkoba, Psikotropika dan Gangguan Jiwa (Tinjauan Kesehatan dan Hukum), (Yogyakarta: Nuha Medika, 2013), Cet. 1, h. 23 
[3] Muhammad Fauzan Kasim, Tinjauan Kriminologis Terhadap Penyalahgunaan “Lem Aibon”Oleh Anak Jalanan, (Makassar: Universitas Hasanuddin, 2012), h. 17
[4] Ibid.,
[5] Ahmad Ramali, K. St. Pamoentjak, Kamus Kedokteran, (Jakarta: Djambatan, 2005), h. 171
[6] Gudang Biologi, Pengertian dan Contoh Zat Adiktif dan Psikotropika, 2015, http://www.gudangbiologi.com/ di akses pada hari Senin, 16 Mei 2016 jam 19:19 Wib 
[7] Ibid.,  
[8] PP No. 109 Tahun 2012 Tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif 
[9] Wawan Ranuwijaya, Buku P4GN Bidang pemberdayaan Masyarakat,( Jakarta: Balai Penerbit Badan Narkotika Nasional, 2010), h. 10
[10] Kafein merupakan senyawa beracun yang dihasilkan oleh tumbuhan seperti biji kopi (Kamus Ilmiah Kontemporer, M.D.J al-Barry).
[11]Alkaloida merupakan golongan senyawa organik bernitrogen yang berasal dari tumbuhan dan memiliki sifat farmakologik (dapat dipergunakan sebagai obat dalam jumlah tertentu), (Kamus Ilmiah Kontemporer, M.D.J al-Barry).
[12] Wawan Ranuwijaya, loc.cit.,
[13] Nikotine merupakan racun yang terdapat di dalam tembakau (Kamus Ilmiah Kontemporer, M.D.J al-Barry).
[14] Wawan Ranuwijaya, op.cit., h. 11
[15] Ibid., h. 12
[16] Solven adalah zat pelarut (Kamus Kedokteran, Dr. Med. Ahmad Ramali).
[17] Wawan Ranuwijaya, loc.cit.,
[18] Dede Ratna, Zat Adiktif, 2016, http://dederatnadewi.blogspot.co.id/ di akses pada hari Senin, 16 Mei 2016 jam 16:59 Wib
[19] Ahmad Fendi Hermawan, Peran Remaja Dalam Menanggulangi Narkotika, (Yogyakarta: STMIK “AMIKOM”), h. 8 
[20] Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika Pasal 1 
[21] Undang-Undang No. 5 Tahun 1997 Tentang Psikotropika Pasal 1
[22] Halusinogen dapat mengubah rangsangan indera yang jelas serta merubah perasaan dan pikiran sehingga menimbulkan kesan palsu atau halusinasi (Kamus Ilmiah Kontemporer, M.D.J al-Barry). 
[23] LSD (lysergic acid diethylamide) adalah suatu zat yang dibuat cendawan ergot (jamur kering) yang hidup di gandum hitam yang digunakan sebagai alat riset untuk mengkaji mekanisme penyakit mental (Kamus Kedokteran, Dr. Med. Ahmad Ramali).
[24] Jeanne Mandagi, Sumarna A. Haris, Penanggulangan Bahaya Narkotika dan Psikotropika, (Jakarta: Pramuka Saka Bhayangkara, 1996), h. 42
[25] Julianan Lisa FR, Nengah Sutrisna W, op.cit., h. 24-25
[26] Ibid., h. 26-27
[27] Ibid., h. 27
[28] Julianan Lisa FR, Nengah Sutrisna W, op.cit., h. 15
[29] Muhammad Fauzan Kasim, op.cit., h. 25
[30] Psychedelik adalah zat yang menimbulkan khayalan atau rangsangan (Kamus Kedokteran, Dr. Med. Ahmad Ramali).
[31] solutio adalah zat larut, zat yang dilarutkan dalam satu larutan (Kamus Kedokteran, Dr. Med. Ahmad Ramali).
[32] intramuskular maksudnya pendistribusian di dalam otot (Kamus Kedokteran, Dr. Med. Ahmad Ramali).
[33] intravena maksudnya suntikan ke dalam pembuluh balik (Kamus Kedokteran, Dr. Med. Ahmad Ramali).
[34] Therapeutik maksudnya berkaitan dengan pengobatan (Kamus Kedokteran, Dr. Med. Ahmad Ramali).
[35] Muhammad Fauzan Kasim, op.cit., h. 16
[36] Ibid.,  h. 16-17
[37] Disorientasi merupakan keadaan kehilangan atau ketidakjelasan arah (orientasi), (Kamus Kedokteran, Dr. Med. Ahmad Ramali).
[38] Zainuddin Ali, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2012), Cet. 3, h. 78
[39] Nurul Irfan dan Masyrofah, Fiqh Jinayah, (Jakarta: Sawo Raya, 2014), Cet. 2, h. 51
[40] Zainuddin Ali, Hukum Islam “Pengantar Ilmu Hukum Islam di Indonesia”, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), Cet. 1, h. 114-115 
[41] Ibnu Hajar al-Asqalani, Terjemahan Hadits Bulughul Maram, (Bandung: Gema Risalah Press, 1991), h. 425
[42] Al-Ahmadi Abu an-Nur, Narkoba, (Jakarta: Darul Falah, 2000), Cet. 1, h. 27
[43] Ibid., 143
[44] Zainuddin Ali, Hukum Pidana Islam, op.cit., h. 80
[45] M. Shiddiq al-Jawi, Hukum Seputar Narkoba Dalam Fiqh Islam, 2012, http://hizbut-tahrir.or.id/ di akses pada Kamis, 26 Mei 2016 jam 10:25 Wib
[46] Yusuf Qardhawi, Fatwa-Fatwa Kontemporer, (Jakarta: Gema Insani Press, 2003), h. 274
[47] Shalih bin Ghanim As-Sadlan, Bahaya Narkotika Mengancam Umat, (Jakarta: Daarul Haq, 2000), Cet. 1, h. 143
[48] Dr. Mardani, Penyalahgunaan Narkoba Dalam Perspektif Hukum Islam dan Nasional, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2008), h.76
[49] Ibid., h. 114
[50] Ibid.,
[51] Zainuddin Ali, Hukum Pidana Islam, op.cit., h.78
[52] Nurul Irfan dan Masyrofah, Fiqh Jinayah, (Jakarta: Sawo Raya, 2014), Cet. 2,  h. 177-178
[53] Ibid., 
[54] Nurul Irfan dan Masyrofah, op.cit., h. 48
[55] Ibid., 
[56] Ibid., 
[57] Ibid., h. 49
[58] Ibid., 
[59] Abdullah Muhammad bin Yazid Al-Qazwini Al-Nasai, Sunan Al-Nasa’i, (Beirut: Dar Al-Fikr, 1995), jilid 8, h. 286
[60]  Nurul Irfan dan Masyrofah, op.cit., h. 50
[61] Shalih bin Ghanim As-Sadlan, op.cit., h. 16 
[62] Zainuddin Ali, Hukum Pidana Islam, op.cit., h. 99
[63] Wahbah Zuhaili, Al-Islami Wa Adillatuh, (Beirut: Dar Al-Fikr Al-Maasir, 1997), Cet. 4, Jilid VII, h. 5487
[64] Nurul Irfan dan Masyrofah, op.cit., h. 51
[65] Ibid.,
[66] Muslim, Shahih Muslim, (Semarang: Toha Putra), Jilid II, h.56-57
[67] Nurul Irfan dan Masyrofah, op.cit., h. 52
[68] Sulaiman Bin Al-Asy’ats Al-Sijistani Al-Azadi (Selanjutnya Disebut Abu Dawud), Sunan Abu Daud, (Indonesia: Maktabah Dahlan), Jilid IV, h. 164
[69] Muslim, op.cit., h. 57
[70] Maksud had paling ringan adalah sama dengan had qadzaf (menuduh orang lain berzina).
[71] Wahbah Al-Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islami Wa Adillatuh, Jilid VII, h. 5488-5489
[72] Ibid.,
[73] Ibid., 
[74] Nurul Irfan dan Masyrofah, op.cit., h. 56
[75] Ibid.,
[76] Ibid., h. 57
[77] Julianan Lisa FR, Nengah Sutrisna W, op.cit., h. 23
[78] Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1989), Cet. 2, h. 30
[79] Nasru Haroen, Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta: PT. Ikhtiar Baru Van Hovven, 1999), Cet. 3, h. 112
[80] Kartini Kartono, Kamus Lengkap Psikologi, (Jakarta: Rajawali Pers, 2002), Cet. 8, h. 83
[81] Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak pasal 1 ayat (1)
[82] Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 tentang Peradilan Anak pasal 1 ayat (1)
[83] Maidin Gultom, Perlindungan Hukum Terhadap Anak Dalam Sistem Peradilan Anak Di Indonesia,(Bandung: Refika Aditama, 2008), Hlm. 34 
[84] Lihat pasal 59 Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak: “pemerintah dan lembaga negara lainnya berkewajiban dan bertanggung jawab untuk memberikan perlindungan khusus kepada anak dalam situasi darurat, anak yang berkonflik dengan hukum, anak dari kelompok minoritas dan terisolasi, anak tereksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual, anak yang diperdagangkan, anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika dan zat adiktif lainnya (NAPZA), anak korban penculikan, penjualan dan perdagangan, anak korban kekerasan baik fisik dan/atau mental, anak yang menyandang cacat, dan anak korban perlakuan salah dan penelantaran” 
[85] M. Nasir Djamil, Anak Bukan Untuk Dihukum, (Jakarta Timur: Sinar Grafika, 2015), Cet. 3, h. 32-33
[86] Ibid., h. 33
[87] Ibid,.
[88] A. Syamsuddin Meliala, E. Sumaryono, Kejahatan Anak “Suatu Tinjauan Dari Psikologis dan Hukum”, (Yogyakarta: Liberty, 1985), h. 31
[89] M. Nasir Djamil, op.cit,. h. 35
[90] Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1991), Cet. 3, h. 219
[91] Kartini Kartono, Patologi Sosial (2) “Kenakalan Remaja”, (Jakarta: Rajawali Pers, 1992), h. 7
[92] Romli Atmasasmita, Problem Kenakalan Anak-Anak Remaja, (Bandung: Armico, 1983), h. 40
[93] Muna Faizah Amatullah, Batasan Usia Pidana Anak di Bawah Umur Berdasarkan Tinjauan Psikologi Islam, (Surakarta: Universitas Muhammadiyah), h. 180
[94] Ibid.,  
[95] Umar Shihab dkk, Ensiklopedia Hukum Pidana Islam II, (Bogor: PT. Kharisma Ilmu, 2008), h. 255
[96] Abdur Rahman I, Tindak Pidana Dalam Syari’at Islam, diterjemahkan oleh Wadi Masturi, Syari’ah The Islamic Law, Cet ke-1, (Jakarta : Rineka Cipta, 1992), h. 16
[97] M. Nafidlul Mufakkir, Pertanggungjawaban Pidana Anak di Bawah Umur, (Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga, 2015), h. 5 
[98]  Umar Shihab dkk, loc.cit.,
[99]  Ibid., h. 256
[100] Ibid.,  
[101] Ibid., h. 257  
[102] Ibid.,  
[103] Ibid.,
[104] Ibid.,  
[105] Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), h. 74
[106] Teungku Muhammad Hasbiy Ash-Shieddeqy, Tafsir Al-Quran Majid An-Nuur, (Jakarta: Bulan Bintang, 1965), Jilid 4, h.2849
[107]  M. Nafidlul Mufakkir, op.cit., h. 7
[108]Ihsan Badroni, Hukum Pidana Bagi Anak Kecil, http://ihsan26theblues.wordpress.com, diakses pada tanggal 1 mei 2014, pukul 09:04 WIB.
[109]  Muhammad Ali al-Sabuni, Rawai’ul Bayan Tafsir fi al-Ayat al-Ahkam min al-Qur’an, diterjemahkan oleh Saleh Mahfud, Tafsir Ayat-ayat Hukum dalam Al-Qur’an, (Bandung: Al-Ma’arif, 1994), h. 369
[110] Ihsan Badroni, op.cit.,
[111] Muna Faizah Amatullah, op.cit., h. 176-177
[112] Umar Shihab dkk, Ensiklopedia Hukum Pidana Islam II, op.cit., h. 257-258
[113] Nurul Irfan dan Masyrofah, op.cit., h. 139-140
[114] Umar Shihab dkk, Ensiklopedia Hukum Pidana Islam I, (Bogor: PT. Kharisma Ilmu, 2008), h. 100 
[115] Nurul Irfan dan Masyrofah, op.cit., h. 136
[116] Ibid., h. 138
[117] Ibid., h. 139
[118] Umar Shihab dkk, Ensiklopedia Hukum Pidana Islam I, loc.cit.,
[119] Ibid., h. 101
[120] Ibid.,
[121] Nurul Irfan dan Masyrofah, op.cit., h. 142
[122] Ibid., h. 143
[123] Lydia Harlina Martono, Satya Joewana, Pencegahan dan Penanggulangan Penyalahgunaan Narkoba, (Jakarta:Balai Pustaka, 2006), h. 6-7
[124] Ibid.,
[125] Andi Hamzah dan Surachman, Kejahatan Narkotika dan Psikotropika, Jakarta: Sinar Grafika, 1994, Cet. 1, h. 1  
[126] Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika
[127] Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika
[128] Undang-Undang No. 5 Tahun 1997 Tentang psikotropika, Pasal 72
[129] Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika, Pasal 55 ayat (1)
[130] Ibid., pasal 55 ayat (2)
[131] Ibid., Pasal 128 ayat (1)
[132] Ibid., Pasal 128 ayat (2)
[133] Undang-Undang No. 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, Pasal 59 Ayat (1)
[134] Ibid., Pasal 59 Ayat (2)
[135] Ibid., Pasal 59A