INHALANSIA (HISAP LEM)
A.
Pengertian
Inhalansia (Hisap Lem) serta Dampak yang
Ditimbulkannya
1. Pengertian
Inhalansia (Hisap Lem)
Hisap lem merupakan kegiatan menghisap uap lem yang
dilakukan oleh remaja dan anak-anak dengan maksud untuk mendapatkan sensasi high atau mabuk, yang dalam bahasa ilmiah
dikenal dengan istilah inhalansia. Inhalansia adalah uap bahan yang mudah
menguap yang dihirup. Contohnya aerosol[1], aica aibon
(selanjutnya penulis akan menjelaskannya secara khusus sebab zat ini yang
banyak digunakan oleh remaja dan anak-anak untuk dihisap), isi korek api gas,
cairan untuk dry cleaning, thinner dan uap
bensin. Umumnya digunakan oleh anak di bawah umur atau golongan kurang mampu / anak
jalanan.[2] Seseorang
yang menghirup / menghisap uap dari zat pelarut (thinner cat), uap lem,
atau zat lainnya yang dapat membuat mabuk dikenal dengan istilah inhalen.[3]
Inhalansia
seperti uap bensin, thinner, cat kuku
dan lem mempunyai bau yang sangat menyengat. Tanpa disadari bau tersebut
mempunyai dampak yang berbahaya bagi tubuh yaitu kecanduan bahkan sampai
kematian. Inhalansia sendiri adalah
senyawa organik berupa gas pelarut yang mudah menguap. Senyawa ini biasa
ditemukan dalam zat-zat yang mudah didapatkan anak-anak dan remaja seperti lem aica aibon.[4]
Inhalansia merupakan
suatu istilah yang dipakai dalam bidang ilmu kedokteran. Dalam kamus kedokteran
disebutkan bahwa Inhalansia / inhalasi adalah menghirup udara atau uap
lain ke dalam paru-paru.[5] Uap
yang dimaksud yaitu yang berasal dari larutan-larutan yang mudah menguap
seperti cat semprot, hairspray, lem
dan pengharum ruangan. Dapat pula berasal dari gas seperti gas nitrous oksida dan anestesi
(pembius), contohnya eter dan kloroform (zat cair pekat tanpa warna
tidak berbau dan tidak mudah terbakar).[6]
Inhalansia termasuk
salah satu zat yang tergolong ke dalam zat adiktif. Zat adiktif merupakan zat
yang penggunaannya bisa menyebabkan ketergantungan fisik dan juga mengalami
ketergantungan psikologis berkepanjangan (drug
dependence).[7]
Berdasarkan PP Nomor 109 Tahun 2012 tentang
Pengamanan Bahan yang Mengandung zat adiktif, bahwa zat adiktif adalah bahan
yang menyebabkan adiksi atau ketergantungan yang membahayakan kesehatan dengan
ditandai perubahan perilaku, kognitif, dan fenomena fisiologis, keinginan kuat
untuk mengonsumsi bahan tersebut, kesulitan dalam mengendalikan penggunaannya,
memberi prioritas pada penggunaan bahan tersebut daripada kegiatan lain,
meningkatnya toleransi dan dapat menyebabkan keadaan gejala putus zat.[8]
Macam-macam zat yang tergolong zat adiktif sebagai
berikut:
a.
Alkohol
Alkohol adalah hasil fermentasi / peragian
karbohidrat dari butir padi-padian, sari
buah anggur dan nira. Kadar alkohol minuman yang diperoleh melalui proses
fermentasi tidak lebih dari 14%.[9]
b.
Kafein
Kafein[10]
adalah Alkaloida[11] yang terdapat dalam buah tanaman kopi.
Biji kopi mengandung 1- 2,5% kafein.[12]
c.
Nikotine
Nikotine[13]
terdapat dalam tumbuhan tembakau dengan kadar sekitar 1-4%. Dalam setiap batang
rokok terdapat 1,1 mg nikotine. Nikotine menimbulkan ketergantungan.[14]
d.
Zat Sedatif dan Hipnotika
Yang tergolong zat sedatif (penenang) atau hipnotika
(menyebabkan tidur) diantaranya benzondiazepin,
temazepam dan diazepam.[15]
e.
Inhalansia
Inhalansia
yaitu zat- zat yang disedot melalui hidung seperti:
a) Hidrokarbon alifatis
dan solven[16] termasuk
toluene (terdapat dalam perekat /
lem, pelumas, bensin, aerosol dan
semir sepatu).
b) Halogen
hidrokarbon termasuk trichloretilena, trichloretana dan methylenchlorida
(terdapat dalam minyak pelumas). choloform,
haloten, trichlorofluoromethana dan icshlorotetrafluorometana
(terdapat dalam freon, pendingin AC
dan lemari es).
c) Nitrit
alifatis meliputi amilnitrit, isobulnitrit, butilnitrit
(yang semuanya terdapat dalam pengharum ruangan).[17]
Zat adiktif termasuk salah satu zat yang sangat
berbahaya. Jika salah dalam pemakaiannya zat adiktif bisa merusak tubuh, bila
keracunan bisa menimbulkan halusinasi atau mungkin berakibat fatal yaitu
kematian. Berikut efek / dampak yang ditimbulkan zat adiktif:[18]
a. Efek / dampak penyalahgunaan minuman
alkohol. Alkohol dalam minuman keras dapat menyebabkan gangguan jantung dan
otot syaraf, mengganggu metabolisme tubuh, membuat janin menjadi cacat, impoten
serta gangguan seks lainnya.
b. Efek / dampak
penyalahgunaan halusinogen. Halusinogen dalam tubuh manusia dapat
mengakibatkan pendarahan otak.
c. Efek / dampak
penyalahgunaan kokain. Zat adiktif kokain jika dikonsumsi dalam jangka
panjang dapat menyebabkan kekurangan sel darah putih atau anemia sehingga dapat membuat badan kurus kering. Selain itu kokain menimbulkan perforesi sekat hidung (ulkus)
dan aritma pada jantung.
d. Efek / dampak
penyalahgunaan inhalansia. Inhalansia memiliki dampak buruk bagi
kesehatan kita seperti gangguan pada fungsi jantung, otak, dan lever.
e. Efek / dampak
penyalahgunaan non obat. Dalam kehidupan sehari-hari sering kita temui benda-benda
yang disalahgunakan oleh banyak orang untuk mendapatkan efek tertentu yang
dapat mengakibatkan gangguan kesehatan. Contoh barang yang dijadikan candu
antara lain seperti bensin, thinner,
racun serangga, lem aica aibon. Efek dari penggunaan yang salah
pada tubuh manusia adalah dapat menimbulkan infeksi emboli (bekuan darah atau sumbat lain yang dibawa mengalir oleh
darah sampai ke pembuluh darah yang kecil dan disini tersangkut sehingga
menyumbat).
Zat adiktif merupakan salah satu zat yang tergolong
ke dalam narkoba. Dewasa ini, narkoba dikenal dengan sebutan NAPZA (narkotika,
psikotropika dan zat adiktif).[19]
Berdasarkan Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika
dinyatakan bahwa narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau
bukan tanaman, baik sintetis maupun semi sintetis, yang dapat menyebabkan
penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan
rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan (adiktif).[20]
Psikotropika menurut Undang-Undang No. 5 Tahun 1997
merupakan zat atau obat baik alamiah maupun sintetis bukan narkotika yang berkhasiat
psikoaktif melalui pengaruh selektif
pada susunan saraf pusat yang menyebabkan perubahan khas pada aktivitas mental
dan perilaku.[21]
Sedangkan zat adiktif merupakan zat-zat
yang tidak termasuk golongan narkotika maupun obat-obat
berbahaya, tetapi mempunyai pengaruh dan efek
merusak fisik dan psikis
seseorang jika disalahgunakan sebagaimana penggunaan
narkotika maupun obat-obatan berbahaya lainnya,
kebanyakan zat-zat ini
termasuk golongan halusinogen[22],
yaitu seperti LSD (lysergic Acid Diethylamide)[23], psylocybin (cendawan), maskalin (kaktus),
gasoline
(bensin) dan glue snidding sebangsa
lem.[24]
2.
Dampak yang Timbul Akibat Menghisap Lem
Lem merupakan bahan perekat yang mudah didapat dan harganya
pun terjangkau. Berbeda halnya dengan narkoba
sulit untuk didapat sebab harganya yang
sulit untuk dijangkau. Di samping itu, ketika berurusan dengan
narkoba mau tidak mau resiko dan rasa takut akan kemungkinan yang terjadi juga
harus dihadapi, sebab bermain dengan narkoba resikonya harus siap berurusan
dengan hukum dan aparatur negara.
Mengingat untuk mendapatkan narkoba sangat sulit
sehingga sebagai alternatif lain remaja ataupun anak-anak
menggunakan lem untuk dihisap tanpa memikirkan dampak yang timbul akibat
perilaku tersebut. Lem yang tergolong ke dalam salah satu zat adiktif
memberikan efek dan dampak negatif. Dampak negatif tersebut sudah pasti
merugikan dan sangat buruk efeknya bagi kesehatan mental dan fisik. Diantara dampak
yang ditimbulkan adalah sebagai berikut:[25]
1) Pada
mulanya merasa sedikit terangsang;
2) Dapat
menghilangkan pengendalian diri atau fungsi hambatan;
3) Bernafas
menjadi lambat dan sulit;
4) Tidak
mampu membuat keputusan;
5) Terlihat
mabuk dan jalan sempoyongan;
6) Mual,
batuk dan bersin-bersin;
7) Kehilangan
nafsu makan;
8) Halusinasi;
9) Perilaku
menjadi agressif / berani atau bahkan
kekerasan;
10) Bisa
terjadi henti jantung (cardiac arrest);
11) Pemakaian
yang berlebihan dapat menyebabkan kerusakan syaraf otak menetap, keletihan
otot, gangguan irama jantung, radang selaput mata, kerusakan hati dan ginjal, gangguan
pada darah dan sumsum tulang, terjadi kemerahan yang menetap di sekitar hidung
dan tenggorokan;
12) Dapat
terjadi kecelakaan yang menyebabkan kematian akibat intoksikasi atau keracunan dan sering sendirian.
Dilihat dari dampak yang ditimbulkan akibat dari
perilaku inhalansia (hisap lem)
tersebut jika dibandingkan dengan dampak yang ditimbulkan akibat pemakaian narkoba
secara umum tidak jauh berbeda. Secara umum pengaruh narkoba ada tiga:[26]
1) Depresan
a) Menekan
atau memperlambat fungsi sistem saraf pusat sehingga dapat mengurangi aktivitas
fungsional tubuh;
b) Dapat
membuat pemakai merasa tenang, memberikan rasa melambung tinggi, memberi rasa bahagia
dan bahkan membuatnya tertidur atau tidak sadarkan diri.
2) Stimulan
a) Merangsang
sistem saraf pusat dan meningkatkan kegairahan (segar dan bersemangat) dan kesadaran;
b) Obat
ini dapat bekerja mengurangi rasa kantuk karena lelah, mengurangi nafsu makan,
mempercepat detak jantung, tekanan darah dan pernapasan.
3) Halusinogen,
dapat mengubah indera yang jelas serta perasaan dan pikiran sehingga
menimbulkan kesan palsu atau halusinasi.
Keluhan umum dan keluhan khusus bagi kesehatan badan
akibat narkoba:[27]
1) Keluhan
Umum
a) Terganggunya
fungsi otak;
b) Daya
ingat menurun;
c) Sulit
berkonsentrasi;
d) Suka
berkhayal;
e) Intoksikasi
/ keracunan;
f) Overdosis;
g) Gejala
putus zat;
h) Gangguan
perilaku / mental-sosial.
2) Keluhan
Khusus
a) Berat
badan turun drastis;
b) Mata
terlihat cekung dan merah;
c) Muka
pucat;
d) Bibir
kehitam-hitaman;
e) Buang
air besar dan kecil kurang lancar;
f) Sakit
perut tiba-tiba;
g) Batuk
dan pilek berkepanjangan;
h) Sering
menguap;
i) Mengeluarkan
keringat berlebihan;
j) Mengalami
nyeri kepala.
B.
Tinjauan
Umum Terhadap Lem “Aica Aibon”
Aica
aibon merupakan lem serbaguna yang dapat
digunakan untuk merekatkan berbagai jenis barang dan peralatan, seperti merekatkan
barang yang terbuat dari bahan kulit binatang contohnya tas dan sepatu, kayu, aluminium,
kertas, plastik, karet, besi, tembaga dan sebagainya. Akan tetapi bagi remaja dan
anak-anak terutama dikalangan anak-anak jalanan aica aibon adalah jenis lem yang disalahgunakan fungsinya. Lem ini
sering mereka gunakan untuk mabuk. Sebab lem ini termasuk ke dalam zat adiktif
yang merupakan zat berbahaya dan dapat menimbulkan halusinasi sehingga lem ini
disalahgunakan oleh remaja dan anak-anak untuk mendapatkan kesenangan.
Zat yang ada dalam aica aibon adalah zat kimia yang bisa merusak sel-sel otak dan
membuat pikiran dan perilaku menjadi tidak normal, sakit bahkan bisa meninggal.
Salah satu zat yang terdapat di dalam aica
aibon adalah Lysergic Acid Diethyilamide (LSD). Lysergic Acid Diethylamide (LSD) adalah
halusinogen yang paling terkenal. Ini
adalah narkoba sintetis yang disarikan dari jamur kering (dikenal sebagai ergot)
yang tumbuh pada rumput gandum.[28]
Zat ini pertama kali dibuat secara sintetis pada
tahun 1940-an untuk menghilangkan hambatan yang merintangi pada kasus kejiwaan.
Halusinogen yang diperoleh dari tumbuh-tumbuhan, seperti kaktus peyote,
telah dipakai golongan pribumi Meksiko selama beberapa ratus tahun untuk
kegiatan keagamaan dan hiburan.[29]
Lysergic Acid Diethylamide (LSD) merupakan
zat semisintetik psychedelik[30]. LSD sensitif terhadap
udara, sinar ultraviolet, terutama dalam bentuk
solutio[31],
yang akan bertahan
selama 1 tahun jika dijauhkan dari cahaya dan dijaga agar suhunya tetap berada di
bawah temperatur. Bentuk asli, warna dan baunya sangat khas. LSD dapat
didistribusi ke dalam tubuh secara intramuskular[32]
atau
injeksi intravena[33].
Dosis yang dapat menyebabkan
efek
psikoaktif pada manusia yaitu 20-30 mg (mikrogram). LSD dapat digunakan sebagai agen therapeutik[34] yang menjanjikan.
LSD adalah cairan tawar,
yang tidak berwarna dan tidak berbau yang sering diserap ke dalam zat berbentuk
kertas berukuran kotak kecil sebesar ¼ perangko dalam banyak warna dan gambar. Ada juga yang berbentuk
pil atau kapsul. Cara menggunakannya dengan meletakkan LSD pada permukaan lidah dan bereaksi setelah 30-60 menit kemudian
dan berakhir setelah 8-12 jam.[35]
Untuk penggunaan LSD efeknya dapat menjadi
nikmat yang luar biasa, sangat tenang dan mendorong perasaan nyaman. Sering
kali ada perubahan pada persepsi, penglihatan, suara, penciuman, perasaan dan
tempat. Efek negatif LSD dapat merusak termasuk hilangnya kendali emosi,
disorientasi, depresi, kepeningan, perasaan panik yang akut dan perasaan tak
terkalahkan, yang dapat mengakibatkan pengguna menempatkan diri dalam bahaya
fisik. Seperti dampak berikut ini yang ditimbulkan oleh zat LSD (lysergic
Acid Diethylamide),
yaitu:[36]
1. Timbul
rasa yang disebut tripping yaitu
seperti halusinasi tempat, warna dan waktu. Biasanya halusinasi ini digabung
menjadi satu hingga timbul obsesi terhadap yang dirasakan dan ingin hanyut di dalamnya;
2. Menjadi
sangat indah dan bahkan menyeramkan, lama-kelamaan membuat perasaan khawatir yang
berlebihan (paranoid);
3. Denyut
jantung dan tekanan darah meningkat;
4. Diafragma
mata melebar dan demam;
6. Depresi
(kelesuan, penurunan/kemerosotan, keadaan tertekan (mental atau emosi));
7. Pusing;
8. Panik
dan rasa takut berlebihan;
9. Flashback
(mengingat masa lalu) selama beberapa minggu atau bulan kemudian;
10. Gangguan
persepsi seperti merasa kurus atau kehilangan berat badan.
C.
Inhalansia (Hisap Lem) Dalam Islam
1. Status
Hukum Inhalansia (Hisap Lem)
Dalam Islam tidak ada penyebutan kata inhalansia (hisap lem) secara langsung,
begitupun dengan status hukumnya. Sama halnya dengan narkoba, status hukumnya juga
tidak disebutkan secara langsung baik di dalam al-Quran maupun as-Sunnah. Sebab,
pada masa Rasulullah Saw tidak dikenal masalah narkoba ataupun inhalansia (hisap lem). Pada masa Rasulullah
Saw sesuatu yang memabukkan dikenal dengan istilah khamr.
Khamr
dalam bahasa Arab berarti “menutup” kemudian dijadikan nama bagi segala yang
memabukkan dan menutup aurat.[38] Al-Qurthubi
mengemukakan kata khamr berasal dari
kata khamara atau satara yang berarti menutup. Oleh karena
itu, ada istilah kerudung wanita. Setiap benda yang menutup sesuatu yang lain
selalu disebut khamr, seperti dalam kalimat
“tutuplah wadah-wadah kalian”. Jadi, khamr
dapat menutup akal, menyumbat, dan membungkusnya.[39]
Selanjutnya kata khamr
dipahami sebagai nama minuman yang membuat peminumnya mabuk atau gangguan
kesadaran. Pada zaman klasik, cara mengonsumsi benda yang memabukkan diolah dalam
bentuk minuman sehingga para pelakunya disebut peminum. Pada era modern, benda
yang memabukkan dapat dikemas menjadi aneka kemasan berupa benda padat, cair maupun
gas bahkan ada yang dikemas menjadi bentuk makanan, minuman, tablet, kapsul atau
serbuk sesuai dengan kepentingan dan kondisi si pemakai.[40]
Minuman khamr
menurut bahasa al-Quran adalah minuman yang terbuat dari biji-bijian atau buah-buahan
yang melalui proses begitu rupa sehingga dapat mencapai kadar minuman yang memabukkan.[41]
Para fuqaha memberi pengertian khamr yaitu cairan yang memabukkan, yang terbuat dari buah-buahan
segar seperti anggur, kurma yang berasal dari biji-bijian seperti gandum dan yang
berasal dari manisan seperti madu, atau hasil atas sesuatu yang mentah, baik
diberi nama klasik atau nama modern yang beredar di dalam masyarakat sekarang
ini.[42]
Zat yang digolongkan sejenis minuman memabukkan adalah
narkoba. Sebab narkoba adalah zat yang melemahkan, membius, dan merusak akal
serta anggota tubuh lainnya.[43] Dasar
hukum pengharaman narkoba dimaksud, adalah hadits Rasulullah Saw berikut:[44]
نَهى
رَسُوْلُ الله صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ كُلُّ مُسْكِرٍ وَ مُفَتِّرٍ (ﺭﻭﺍە
ﺍﺣﻤﺪ ﻭ ﺍﺑﻮ ﺩﺍﻭﺩ)
Artinya:
Rasulullah
Saw melarang setiap perkara yang memabukkan dan dapat melemahkan badan. (Diriwayatkan
Ahmad dan Abu Daud).
Dalam Fikih Islam Kontemporer istilah narkoba dikenal
dengan al-mukhaddirat (Inggris: narcotics). Menurut Wahbah Zuhaili dalam
kitabnya, Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu
sebagaimana dikutip oleh M. Shiddiq al-Jawi menyatakan bahwa al-mukhaddirat merupakan segala sesuatu
yang membahayakan tubuh dan akal.[45] Definisi
ini mencakup apa-apa yang dapat memabukkan, semisal racun, rokok termasuk juga
dalam hal ini menghisap lem. Hal ini disebabkan karena sifat barang tersebut
sama-sama memabukkan. Baik dalam bentuk padat, cair maupun gas, zat-zat yang
memabukkan, melemahkan dan menenangkan.[46]
Seperti menghisap lem yang dapat memabukkan dan menimbulkan efek yang sama
dengan narkoba.
Selanjutnya Shalih Bin Ghanim as-Sadlan juga
mengungkapkan bahwa yang dimaksud narkoba dalam bahasa Arab disebut mukhaddirat. Maksudnya menunjukkan kepada
sesuatu yang yang terselubung, kegelapan dan kelemahan.[47]
Dr. Madani berpendapat meski narkoba tidak dikenal
pada masa Rasulullah Saw, namun narkoba termasuk kategori khamr bahkan
bahayanya lebih berat dibanding dengan khamr (minuman keras).[48]
Ulama telah sepakat bahwa menyalahgunakan narkoba
itu haram, karena dapat merusak jasmani dan rohani umat manusia melebihi khamr.
Dikarenakan tak ditemukan status hukum penyalahgunaan narkoba dalam al-Quran
dan as-Sunnah, maka para ulama mujtahid menyelesaikannya dengan pendekatan qiyas (analogi hukum), yaitu qiyas jali. Qiyas jali adalah menyamakan sesuatu hukum
yang lebih tinggi kepada sesuatu hukum yang lebih rendah disebabkan persamaan illat hukumnya.[49]
Narkoba dianalogikan dengan khamr, karena sama-sama memabukan, bahkan
narkoba lebih berbahaya dibanding khamr.
Sedangkan menurut Ahmad al-Syarbasi, bahwa tanpa
diqiyaskan kepada khamr pun narkoba dapat dikategorikan sebagai khamr
dan hukumnya haram untuk dikonsumsi, karena dapat menutupi akal.[50]
Begitupun dengan perilaku inhalansia khususnya
menghisap lem. Menghisap lem dapat menyebabkan pelakunya fly dan mabuk sehingga dampak yang ditimbulkan sama dengan narkoba
ataupun khamr, yaitu dapat
menghilangkan kesadaran dan akal sehat pelaku. Bahkan tanpa diqiyaskan dengan khamr ataupun disamakan dengan narkoba jelas
bahwa hukum menghisap lem itu haram, ini disebabkan oleh efek yang
ditimbulkannya lebih bahaya dari khamr
ataupun narkoba. Sebagaimana Sabda Rasulullah Saw yang berbunyi sebagai
berikut:[51]
عَن ابْنُ عُمَرَ أًنَّ رَشُؤْل الله صَلَى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّم قَلَ
كُلُّ مٌسْكِرٍ خَمْرُ وَ كُلٌّ مُسْكِرٍ حَرَامٌ ( ﺭﻭﺍە ﻣﺴﻠﻢ )
Artinya:
Dari
Ibnu Umar ra. bahwa Rasulullah Saw bersabda setiap yang memabukkan adalah arak
dan setiap yang memabukkan adalah haram (riwayat muslim).
Ulama berbeda pendapat mengenai sanksi terhadap
pelaku penyalahgunaan narkoba jika dilihat menurut hukum pidana Islam. Ada yang
berpendapat sanksinya adalah had dan
ada pula yang berpendapat sanksinya adalah ta’zir.
Berikut penjelasannya:[52]
1. Ibnu
Taimiyah dan Azat Husnain berpendapat bahwa pelaku penyalahgunaa narkoba
diberikan sanksi had karena narkoba
diqiyaskan dengan khamr.
2. Wahbah
al-Zuhaili dan Ahmad al-Hasari berpendapat bahwa pelaku penyalahgunaan narkoba
diberikan sanksi ta’zir, karena:
a. Narkoba
tidak ada pada masa Rasulullah Saw;
b. Narkoba
lebih berbahaya dibandingkan dengan khamr;
c. Narkoba
tidak diminum seperti halnya khamr.
Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) pun mengatakan
bahwa sanksi bagi pelaku penyalahgunaan narkoba adalah ta’zir. Adapun penyalahgunaan narkoba mengakibatkan kerugian jiwa
dan harta benda. Oleh karena itu, perlu dilakukan tindakan-tindakan berikut:[53]
1. Menjatuhkan
hukuman yang berat terhadap penjual, pengedar, dan penyelundup bahan-bahan
narkoba. Jika perlu hukuman mati.
2. Menjatuhkan
hukuman berat terhadap aparat negara yang melindungi produsen atau pengedar
narkoba.
3. Membuat
undang-undang mengenai penggunaan dan penyalahgunaan narkoba.
Syariat Islam melarang mengonsumsi khamr dan zat-zat sejenisnya. Proses
pengharaman ini dilakukan melalui tahapan secara gradual sebanyak empat kali.[54]
Pertama, Allah Swt menurunkan ayat tentang khamr yang bersifat informatif semata. Hal
ini dilakukan karena tradisi meminumnya sangat membudaya di masyarakat. Ayat yang
diturunkan pertama kali adalah sebagai berikut:[55]
`ÏBur
ÏNºtyJrO
È@ϨZ9$#
É=»uZôãF{$#ur
tbräÏGs?
çm÷ZÏB
#\x6y
$»%øÍur
$·Z|¡ym
3 ¨bÎ)
Îû
y7Ï9ºs
ZptUy
5Qöqs)Ïj9
tbqè=É)÷èt
Artinya:
“Dan dari buah korma dan anggur, kamu buat minuman yang memabukkan
dan rezeki yang baik. Sesunggguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat
tanda (kebesaran Allah) bagi orang yang memikirkan.” (QS. An-Nahl (16): 67)
Kedua, diturunkannya ayat yang menjelaskan
secara lebih lanjut mengenai khamr.
Firman Allah:[56]
y7tRqè=t«ó¡o
ÇÆtã
ÌôJyø9$#
ÎÅ£÷yJø9$#ur
( ö@è%
!$yJÎgÏù
ÖNøOÎ)
×Î72
ßìÏÿ»oYtBur
Ĩ$¨Z=Ï9
!$yJßgßJøOÎ)ur
çt9ò2r&
`ÏB
$yJÎgÏèøÿ¯R
3
Artinya:
“Mereka bertanya kepadamu (Muhammad) tentang khamr dan judi. Katakanlah: Pada keduanya terdapat dosa yang besar
dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari
manfaatnya.” (QS. Al-Baqarah (2): 219)
Apabila dibandingkan isi dan kandungan kedua ayat di
atas, tampak jelas bahwa ayat yang kedua sudah menyentuh sisi manfaat dan mudharat.
Ketika diturunkannya ayat ini, tradisi meminum khamr masih tetap berlangsung. Tidak hanya dilakukan oleh orang-orang
kafir, tetapi juga dilakukan oleh sahabat-sahabat Nabi. Mengenai hal ini, al-Suyuthi
memaparkan bahwa Ali bin Abi Thalib menceritakan Abdurrahman bin Auf mengundang
kami untuk berpesta dan memberikan jamuan berupa khamr. Selanjutnya datanglah waktu shalat dan kami pun shalat. Salah
seorang di antara kami menjadi imam. Karena imam masih setengah mabuk mengakibatkan
bacaan shalat kami menjadi salah.[57]
Ketiga, diturunkan ayat yang menerangkan tentang
proses pengharaman khamr. Allah
berfirman:[58]
$pkr'¯»t
tûïÏ%©!$#
(#qãYtB#uä
w (#qç/tø)s?
no4qn=¢Á9$#
óOçFRr&ur
3t»s3ß
Artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu
dalam Keadaan mabuk.” (QS. An-Nisa (4): 43)
Mengenai proses pengharaman khamr ini, Imam Abu Daud dan at-Tirmidzi
sebagaimana dikutip oleh al-Shabuni, Umar bin Khattab berdoa kepada Allah agar
hukum tentang khamr dipertegas.[59]
اَللَّهُمَّ
بَيْنَ لَنَا فِىْ الخَمْرِ بَيَانًا شَافِيًا
Artinya:
Ya Allah berikan
kejelasan kepada kami tentang khamr dengan penjelasan yang tegas.
Keempat, diturunkannya satu ayat terakhir yang mengharamkan
khamr. Ayat ini sekaligus menjadi jawaban
dari doa Umar bin Khattab.[60]
$pkr'¯»t tûïÏ%©!$# (#þqãYtB#uä $yJ¯RÎ) ãôJsø:$# çÅ£øyJø9$#ur Ü>$|ÁRF{$#ur ãN»s9øF{$#ur Ó§ô_Í ô`ÏiB È@yJtã Ç`»sÜø¤±9$# çnqç7Ï^tGô_$$sù öNä3ª=yès9 tbqßsÎ=øÿè?
Artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamr, berjudi, (berkorban untuk)
berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka
jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.” (QS. Al-Maidah
(5): 90)
Imam Ash-Shan’ani berpendapat bahwa sesungguhnya
semua perkara yang memabukkan hukumnya haram dari jenis apapun asalnya seperti
ganja dan sebagainya. Ahli fikih berpendapat bahwa tidak ada perbedaan hukum
antara yang cair dengan yang padat, semuanya tetap haram digunakan karena dapat
memabukkan atau menghilangkan kesadaran.[61]
Oleh karena itu, apapun yang memabukkan dan menghilangkan kesadaran maka itulah
yang diharamkan.[62]
Mengenai sanksi meminum khamr, Ulama Hanafiah sebagaimana dipaparkan al-Zuhaili, membedakan
antara sanksi sekedar meminum khamr
dan sanksi mabuk. Artinya, sedikit atau banyaknya tetap saja haram dan peminum
yang tidak mabuk dapat dikenai sanksi hukum.[63]
Sementara itu, Jumhur Ulama tidak memisahkan antara
sanksi sekedar minum dan sanksi mabuk. Menurut mereka, setiap meminum (memakan)
suatu zat yang dalam jumlah besarnya memabukkan maka sedikitnya tetap haram
baik mabuk atau tidak.[64]
Pendapat kalangan Hanafiah inilah yang tampaknya
dianut oleh Undang-Undang pidana di Mesir. Disana orang yang mabuk di tempat
umum dapat dituntut pidana, tetapi kalau sembunyi-sembunyi tidak dapat dituntut.
Hal inilah yang ia kritisi, bahwa Islam bukan hanya menghukum pemabuk tetapi
juga peminum sekalipun tidak sampai mabuk, sebab dampak negatif dari khamr, narkoba, dan zat-zat adiktif lain
sungguh sangat berbahaya bagi jasmani dan rohani.[65]
Mengenai sanksi pidana bagi peminum khamr, tidak disebutkan secara jelas
dalam rangkaian ayat tentang pengharaman khamr
di atas. dalam ayat terakhir ditegaskan “maka
jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan”. Namun
demikian dalam hadits disebutkan tentang sanksi bagi peminum khamr, yaitu:
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكِ أَنَّ
النَّبِى صَلىَ اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ أُتِيَ بِرَجُلٍ قَدْ شَرِبَ اْلخَمْرِ
فَجَلَدَهُ بِجَرِيدَ تَيْنِ نَحْوَ أَرْبَعِيْن
( ﺭﻭﺍە ﻣﺴﻠﻢ )
Artinya:
Dari
Anas Bin Malik, bahwasanya Nabi Saw di datangi oleh seseorang yang telah
meminum khamr. Beliau lalu
mencambuknya dengan dua pelepah kurma sebanyak 40 (empat puluh) kali. (HR.
Muslim)[66]
Dalam hadits di atas disebutkan bahwa alat yang
digunakan untuk mencambuk adalah dua pelepah kurma, Imam an-Nawawi mengemukakan
bahwa istilah dua pelepah kurma ini mengakibatkan pemahaman yang beragam.
Sebagian memahami bahwa dua pelepah kurma itu dianggap sebagai alat semata,
bukan jumlahnya. Dengan demikian, jumlah cambukannya sebanyak 40 (empat puluh)
kali. Sementara itu sebagian yang lain memahami sebagai jumlah, bukan sebatas
alat. Dengan demikian, jumlah cambukan yang sebanyak empat puluh kali itu
dikalikan dua pelepah, sehingga jumlahnya delapan puluh kali.[67]
Abu Daud meriwayatkan sebuah hadits, yaitu:[68]
عَنْ عَلِىْ رَضِيَ اللهُ عَنْهَ قَلَ
جَلَدَ رَسُوْلُ اللهُ صَلىَ اللهُ
عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ فِي الْخَمْرِ
وَ أَبُوْ بَكْرٍ أَرْبَعِيْنَ وَ كَمَّلَهَا عُمَرُ شَمَا نِيْنَ وَ كُلٌّ سُنَّة
( ﺭﻭﺍە ﺍﺑﻮ ﺩﺍﻭﺩ)
Artinya:
Dari
Ali ia berkata Nabi Saw mencambuk pelaku jarimah syurb al-khamr sebanyak 40 kali demikian juga Abu Bakar. Sementara
itu, Umar menyempurnakannya menjadi 80 kali. Kedua-duanya merupakan sunnah.
(HR. Abu dawud)
Hadits tentang ijtihad Umar Bin Khattab untuk
menambah jumlah cambukan menjadi delapan puluh kali secara lebih mendetail
dikemukakan dalam hadits berikut:[69]
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ أَنَ نَّبِيَّ الله صَلىَ
اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ جَلَدَ فِي الْخَمْرِ بِا لْجَرِيْدِ وَ النِّعَالِ
ثُمَّ جَلَدَ أبُوْ بَكْرٍ أَرْبَعِيْنَ فَلَمَّا كَانَ عُمَرُ وَدَنَا النَّاسُ
مِنْ الرَّيْفِ وَالْقُرَى قَالَ مَا تَرَوْنَ فِي جَلْدِ الْخَمْرِ فَقَا لَ
عَبْدُالرَّحْمَنِ بْنِ عَوْفٍ أَرَى أَنْ تَجْعَلَهَا كَأَ خَفِّ الْحُدُوْدِ قَالَ
فَجَلَدَ عُمَرُ ثَمَانِيْنَ ( ﺭﻭﺍە ﻣﺴﻠﻢ )
Artinya:
Dari
Anas Bin Malik sesungguhnya Nabi Saw mencambuk pelaku jarimah syurb al-khamr dengan pelepah kurma dan
sandal. Kemudian Abu Bakar juga mencambuk sebanyak 40 kali. Sementara itu pada
masa pemerintahan Umar, orang-orang berdatangan dari dusun dan kampung-kampung.
Umar bertanya, “Bagaimana menurut kalian tentang sanksi pelaku syurb al-khamr (meminum minuman keras)?”
Abdurrahman Bin Auf menjawab, “menurut saya sebaiknya engkau menetukannya sama
dengan hudud yang paling ringan.”[70]
Umar berkata, “Umar mencambuk sebanyak 80 kali.” (HR. Muslim)
Dari beberapa hadits di atas dapat diketahui bahwa sanksi
bagi jarimah syurb al-khamr ada dua,
yaitu empat puluh kali cambukan dan delapan puluh kali cambukan dari sinilah para
fuqaha berbeda pendapat. Jumhur Fuqaha berpendapat sanksinya delapan puluh kali
cambukan, sedangkan kelompok Syafiiyah berpendapat sanksinya empat puluh kali cambukan.[71]
Jumhur Fuqaha disamping berpegangan pada kebijakan
Umar Bin Khattab di atas, juga beragumentasi dengan ucapan Ali yang mengatakan:
ﺇذَا شَرِبَ
سَكِرَ وَاِذَا سَكِرَ هَذَى وَاِذَا هَذَى افْتَرَى وَحَدُّالْمُفْتَرَى
ثَمَانُوْنَ
Artinya:
Seseorang
kalau meminum khamr, ia akan mabuk. Kalau
sudah mabuk, ia akan mengigau, ia akan mengada-ada (menuduh). Adapun sanksi bagi
penuduh adalah delapan puluh kali cambukan.[72]
Sementara itu, ulama Syafiiyah berpendapat bahwa sanksi
bagi pelaku jarimah syurb al-khamr adalah empat puluh kali cambukan.
Imam As-Syafii berpendapat bahwa penambahan had
dari empat puluh kali menjadi delapan puluh kali bagi pelaku jarimah syurb al-khamr adalah wewenang penguasa.[73]
Sebagai seorang tokoh Fiqh Jinayah, Abdul Qadir Audah mengemukakan bahwa ulama berbeda
pandangan dalam memahami substansi khamr.
Menurut Imam Malik, Al-Syafii dan Ahmad meminum atau memakan sesuatu yang
memabukkan, baik yang diberi nama khamr maupun
tidak, baik bahan bakunya dari anggur maupun beras atau baik unsur
memabukkannya banyak maupun sedikit tetap saja haram.[74]
Sementara itu, menurut Imam Abu Hanifah yang diharamkan
hanya jenis minuman yang bernama khamr,
baik dalam jumlah besar maupun kecil. Menurutnya ada tiga hal yang termasuk
dalam kategori khamr, yaitu sebagai
berikut:[75]
a.
Air anggur yang
telah mendidih dan mengeluarkan buih. Akan tetapi, menurut Abu Yusuf dan
Muhammad bin Hasan al-Syaibani air anggur ketika telah mendidih sudah menjadi khamr, walaupun tidak mengeluarkan buih.
b. Air
anggur yang telah direbus dan yang tersisa kurang dari dua per tiga, telah
berubah menjadi khamr, baik basah
maupun kering.
c.
Perasan kedelai
ketika telah mendidih dan mengeluarkan buih. Akan tetapi menurut Abu Yusuf dan
Muhammad bin Hasan Al-Syaibani, perasan itu telah menjadi khamr meskipun belum mengeluarkan buih.
Dalil yang digunakan oleh Abu Hanifah untuk
mendukung pendapatnya adalah hadits berikut:[76]
عَنْ أَبي
هُرَيْرَةَ قل رَسُوْلٌ الله صَلَ الله عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ الْخَمْرُ مِنْ هَا
تَيْنِ الشَّجَرَتَيْنِ الْكَرْمَةِ وَ النَّخَلَةِ (ﺭﻭﺍە ﻣﺴﻠﻢ)
Artinya:
Dari Abu
Hurairah ra. Ia berkata “aku mendengar Rasulullah Saw bersabda, khamr itu berasal dari dua pohon, anggur
dan kurma.” (HR. Muslim)
2. Ketentuan
Pidana Islam Terhadap Pelaku Inhalansia (Hisap
Lem)
Inhalansia
(hisap
lem) merupakan suatu zat yang dapat
merusak mental dan psikis serta menimbulkan efek yang sama dengan narkoba,
bahkan lem ini lebih bahaya. Umumnya lem ini digunakan oleh anak di bawah umur
terutama di kalangan anak jalanan serta golongan kurang mampu. Hal ini sesuai
dengan yang diungkap oleh Juliana Lisa dan Nengah Sutrisna dalam bukunya yang
berjudul “Narkoba, Psikotropika dan Gangguan Jiwa (Tinjauan Kesehatan &
Hukum)”.[77]
Berdasarkan hal tersebut, penulis memfokuskan penjelasan terhadap anak sebagai
pelaku inhalansia (hisap lem).
a. Pengertian
Anak
Istilah anak memiliki pengertian yang berbeda-beda,
walaupun pada hakekatnya maksud dari pengertian tersebut adalah sama. Anak
secara bahasa memiliki pengertian yaitu manusia yang masih kecil, keturunan
yang kedua (yang lebih kecil dari pada yang lain).[78]
Dalam ensiklopedia hukum Islam anak berarti keturunan yang kedua, orang
yang lahir dari rahim seorang ibu, baik laki-laki maupun perempuan atau khunsa, sebagai hasil dari persetubuhan
antara dua lawan jenis, anak yang lahir dari hubungan yang sah.[79]
Menurut kamus lengkap psikologi pengertian anak
adalah seseorang yang belum mencapai tingkat kedewasaan, bergantung pada sifat
referensinya. Istilah tersebut bisa berarti seorang individu di antara
kelahiran dan masa pubertas atau seorang individu di antara kanak-kanak (masa
pertumbuhan, masa kecil) dan masa pubertas.[80]
Dalam Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak menyatakan bahwa anak adalah seorang yang belum berusia 18
(delapan belas) tahun dan belum pernah kawin.[81] Undang-Undang
No. 3 Tahun 1997 tentang Peradilan Anak memberikan defenisi anak yaitu orang
yang dalam perkara anak nakal telah mencapai umur 8 (delapan) tahun tetapi
belum mencapai umur delapan belas (18) tahun dan belum pernah kawin.[82]
Selanjutnya, Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2002 menentukan bahwa perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk
menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh,
berkembang, dan berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan harkat dan
martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan
diskriminasi. Perlindungan anak dapat juga diartikan sebagai segala upaya yang
bertujuan mencegah, rehabilitasi, dan memberdayakan anak yang mengalami tindak
perlakuan salah (child abused), eksploitasi, dan penelantaran, agar
dapat menjamin kelangsungan hidup dan tumbuh kembang anak secara wajar baik
fisik, mental, dan sosialnya.[83]
Sebelum lahirnya Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak, pada dasarnya anak-anak yang bermasalah dikategorikan dalam
istilah kenakalan anak, yang mengacu pada Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 tentang
Peradilan Anak.[84]
Setelah diundangkannya Undang-Undang Perlindungan Anak maka istilah tersebut
berubah menjadi anak yang berkonflik dengan hukum (ABH), dan saat ini
Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak pun
menggunakan istilah anak yang berkonflik dengan hukum.[85]
Berdasarkan pasal 1 butir 2 Undang-Undang No. 3
Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, yang dimaksud dengan anak nakal adalah:[86]
a) Anak
yang melakukan tindak pidana, atau
b) Anak
yang melakukan perbuatan yang dinyatakan dilarang bagi anak, baik menurut
perundang-undangan maupun menurut peraturan hukum lain yang hidup dan berlaku
dalam masyarakat yang bersangkutan.
Ada dua kategori perilaku anak yang membuatnya harus
berhadapan dengan hukum, yaitu:[87]
1) Status
offence adalah perilaku kenakalan anak
yang apabila dilakukan oleh orang dewasa tidak dianggap sebagai kejahatan,
seperti tidak menurut, membolos sekolah atau kabur dari rumah;
2) Juvenile
Deliquency adalah perilaku kenakalan anak yang
apabila dilakukan oleh orang dewasa dianggap kejahatan atau pelanggaran hukum.
Pada dasarnya anak-anak memiliki kondisi kejiwaan
yang labil untuk melalui proses kemantapan psikis sehingga menghasilkan sikap
kritis, agresif dan menujukkan tingkah laku yang cenderung bertindak mengganggu
ketertiban umum. Ada beberapa faktor penyebab yang paling mempengaruhi
timbulnya kejahatan anak, yaitu:[88]
1) Faktor
lingkungan.
2) Faktor
ekonomi/sosial.
3) Faktor
psikologis.
Kenakalan anak disebut juga dengan Juvenile Deliquency. Juvenile (dalam bahasa Inggris) atau
yang dalam bahasa Indonesia berarti
anak-anak; anak muda, sedangkan deliquency
artinya terabaikan/mengabaikan yang kemudian diperluas menjadi jahat,
kriminal, pelanggar peraturan dan lain-lain.[89]
Sedangkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia delikuensi diartikan sebagai tingkah
laku yang menyalahi secara ringan norma dan hukum yang berlaku dalam suatu
masyarakat.[90]
Pengertian Juvenile Deliquency menurut Kartini Kartono adalah perilaku
jahat/dursila, atau kejahatan/kenakalan anak-anak muda, merupakan gejala sakit
(patologi) secara sosial pada
anak-anak dan remaja yang disebabkan oleh suatu bentuk pengabaian sosial,
sehingga mereka itu mengembangkan bentuk pengabaian tingkah laku yang
menyimpang.[91]
Sedangkan Juvenile Deliquency menurut
Romli Atmasasmita adalah setiap
perbuatan atau tingkah laku seseorang anak dibawah umur 18 (delapan belas)
tahun dan belum kawin yang merupakan pelanggaran terhadap norma-norma hukum
yang berlaku serta dapat membahayakan perkembangan pribadi si anak yang
bersangkutan.[92]
Menurut Sarwono Juvenile Deliquency
diartikan sebagai kenakalan anak, akan tetapi berdasarkan kenyataan yang
berkembang di masyarakat anak dalam pengertian tersebut juga meliputi remaja.[93] Menurut
Prof. Dr. Fuad Hassan kenakalan remaja adalah perbuatan anti sosial yang
dilakukan anak atau remaja yang bilamana dilakukan oleh orang dewasa
diklasifikasikan sebagai perbuatan pidana.[94]
b. Ketentuan
Pidana Islam Terhadap Anak Inhalansia (Hisap
Lem)
Hukum Islam dipandang sebagai hukum pertama di dunia
yang membedakan secara sempurna antara anak kecil dan orang dewasa dari segi
tanggung jawab pidana. Hukum Islam juga merupakan hukum pertama yang meletakkan
tanggung jawab anak-anak yang tidak berubah dan berevolusi sejak
dikeluarkannya. Ironisnya, meski telah dikeluarkan sejak empat belas abad yang
lalu, hukuman ini dianggap sebagai hukum terbaru dalam hal pertanggungjawaban
anak kecil (belum dewasa) pada masa sekarang ini.[95]
Berbeda halnya dengan hukum pidana yang diberlakukan
di Indonesia, dalam hukum pidana Islam seorang anak tidak akan dikenakan hukuman
atas apa yang dilakukannya apabila melanggar hukum, karena tidak ada beban
tanggung jawab hukum terhadap seorang anak umur berapapun sampai dia mencapai
umur dewasa (baligh), hakim hanya berhak menegur kesalahannya atau
menerapkan beberapa pembatasan baginya yang akan membantu memperbaikinya dan
menghentikannya dari membuat kesalahan dimasa yang akan datang.[96]
Dalam hukum pidana Islam, meskipun jelas ditegaskan
bahwa seseorang tidak bertangtanggung jawab kecuali terhadap jarimah (kejahatan)
yang telah diperbuatnya sendiri dan juga tidak bertanggung jawab atas perbuatan
jarimah orang lain bagaimanapun dekatnya tali kekeluargaan atau tali
persahabatan antara dirinya dan orang lain tersebut. Akan tetapi untuk masalah
anak, Islam memiliki pengecualian tersendiri, dalam al-Qur’an maupun as-Sunnah
sendiri telah diterangkan bahwa seorang anak tidak dapat dimintakan
pertanggungjawaban sebelum dia dewasa (baligh).[97]
Pertanggungjawaban pidana dalam hukum Islam terdiri
atas dua unsur utama yaitu: Kekuatan berpikir (idrak) dan Pilihan (ikhtiar).
Karena itu, hukum bagi anak kecil berbeda seiring dengan perbedaan fase-fase
yang dilalui oleh manusia semenjak lahirnya sampai pada waktu sempurnanya
kekuatan berpikir dan pilihan. Ketika dilahirkan manusia menurut tabiatnya
memiliki kekuatan akal (idrak) dan
pilihan (ikhtiar) yang lemah kemudian
keduanya sedikit demi sedikit mulai terbentuk hingga akhirnya manusia dapat
memahami sampai batas waktu tertentu hingga akhirnya pertumbuhan akalnya
menjadi sempurna.[98]
Atas dasar adanya tahapan-tahapan dalam membentuk idrak (kekuatan berpikir) ini, dibuatlah
kaidah tanggungjawab pidana. Ketika kekuatan berpikir tidak ada pada diri
manusia, tanggung jawab pidana juga tidak ada.
Ketika kekuatan berpikirnya lemah, yang dijatuhkan padanya bukan
tanggung jawab pidana, melainkan hukuman untuk mendidik. Ketika kekuatan
berpikirnya sempurna, manusia barulah mempunyai tanggung jawab pidana.[99]
Berikut fase-fase yang dilalui manusia dari sejak
lahir sampai usia dewasa yang terdiri atas tiga fase, yaitu:
a) Fase
tidak adanya kemampuan berpikir (idrak)
Sesuai dengan kesepakatan fuqaha fase ini dimulai
sejak manusia dilahirkan dan berakhir sampai usia tujuh tahun. Pada fase ini
seorang anak dianggap tidak mempunyai kekuatan berpikir. Ia pun disebut anak
yang belum mumayyiz.[100]
Anak dianggap belum mumayyiz jika usianya belum sampai tujuh tahun meskipun ada anak di
bawah usia tujuh tahun lebih cepat untuk dapat membedakan yang baik dan yang
buruk (tamyiz) daripada anak lain seusianya. Ini karena hukum didasari atas
kebanyakan orang, bukan atas perseorangan. Hukum pada kebanyakan orang
menegaskan bahwa tamyiz belum
dianggap ada pada diri seorang anak sebelum ia berusia tujuh tahun. Karenanya
apabila anak kecil melakukan tindak pidana apapun sebelum ia berusia tujuh
tahun, dia tidak dihukum baik pidana maupun hukuman ta’dibiy (hukuman untuk mendidik).[101]
b) Fase
kemampuan berpikir lemah
Fase ini dimulai sejak anak berusia tujuh tahun
sampai ia mencapai baligh. Mayoritas
fuqaha membatasinya pada usia lima belas tahun. Apabila seorang anak telah
menginjak usia usia tersebut, ia dianggap telah dewasa secara hukum meskipun
dia belum dewasa dalam arti yang sebenarnya.[102]
Dalam fase ini anak kecil yang telah mumayyiz tidak bertanggung jawab secara
pidana atas tindak pidana yang dilakukannya. Dia tidak dijatuhi hukuman hudud bila ia mencuri atau berzina,
misalnya. Dia juga tidak dihukum atas qishash
bila membunuh atau melukai, tetapi dikenai tanggung jawab ta’dibiy yaitu hukuman yang bersifat mendidik atas pidana yang
dilakukannya.[103]
c) Fase
kekuatan berpikir penuh
Fase ini dimulai sejak si anak menginjak usia
kecerdasan (dewasa), yaitu kala menginjak usia lima belas tahun menurut
pendapat mayoritas fuqaha, atau berusia delapan tahun menurut pendapat Imam Abu
Hanifah dan pendapat yang populer dalam Mazhab Maliki. Pada fase ini, seseorang
dikenai tanggung jawab pidana atas tindak pidana yaang dilakukannya, apapun
jenisnya. Dia dijatuhi hukuman hudud apabila dia berzina atau mencuri dan
diqishas apabila dia membunuh atau melukai, demikian pula dijatuhi hukuman ta’zir apabila melakukan tindak pidana ta’zir.[104]
Selanjutnya, pertanggungjawaban pidana diartikan
sebagai pembebanan seseorang dengan akibat perbuatan atau tidak adanya
perbuatan yang dikerjakannya dengan kemauan sendiri, dimana seseorang tersebut
mengetahui maksud dan akibat dari perbuatannya itu. Apabila hal tersebut dalam
arti pertanggungjawaban pidana terpenuhi maka terdapat pula pertanggungjawaban
pidana. Dengan demikian orang gila, anak di bawah umur, orang yang dipaksa dan
terpaksa tidak dibebani pertanggungjawaban, karena dasar pertanggungjawaban
bagi mereka tidak ada.[105]
Pertanggungjawaban ini diartikan sebagai kekuatan
berfikir (idrak) dan pilihan (ikhtiar). Sehubungan dengan dua hal
tersebut maka kedudukan anak di bawah umur berbeda-beda sesuai dengan perbedaan
masa yang dilaluinya dalam kehidupannya, semenjak dia lahir sampai dia
mempunyai kedua perkara tersebut. Hukum pidana Islam mengampuni anak-anak dari
hukuman yang semestinya dijatuhkan bagi orang dewasa kecuali jika dia telah baligh.
Hal ini berdasarkan firman Allah Swt. Sebagai berikut:
#sÎ)ur
x÷n=t/
ã@»xÿôÛF{$#
ãNä3ZÏB
zOè=ßsø9$#
(#qçRÉø«tFó¡uù=sù
$yJ2
tbxø«tGó$#
úïÏ%©!$#
`ÏB
NÎgÎ=ö6s%
4 Ï9ºxx.
ßûÎiüt7ã
ª!$#
öNà6s9
¾ÏmÏG»t#uä
3 ª!$#ur
íOÎ=tæ
ÒOÅ6ym
Artinya:
“Dan
apabila anak-anakmu telah sampai umur baligh,
maka hendaklah mereka meminta izin, seperti orang-orang yang sebelum mereka
meminta izin. Demikianlah Allah menjelaskan ayat-ayat-Nya. Dan Allah Maha
mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (QS. An-Nur (24): 59)
Ayat tersebut adalah firman Allah yang memberi
peringatan bahwa membebani seseorang dengan hukum-hukum Syari’at adalah apabila
orang tersebut telah sampai umur (baligh), dan sampai umur itu adalah
dengan mimpi (laki-laki bermimpi
mengeluarkan sperma) dan haid
bagi perempuan atau dengan umur 15 (lima belas) tahun. Anak-anak yang telah
sampai umur tidak boleh memasuki kamar orang tuanya tanpa izin terlebih dahulu,
sama halnya dengan orang lain.[106]
Sehingga para ulama berpendapat bahwa batas usia sampai umur baligh adalah
15 (lima belas) tahun.[107]
Namun disatu sisi, terjadi ikhtilaf (perbedaan) pandangan diantara para
ulama dalam penentuan umur dimana seorang anak dianggap baligh tersebut.
Dalam tulisan Ihsan Badroni dikemukakan ada beberapa pendapat tentang penentuan
batas umur tersebut, yaitu:
1. Mazhab
Hanafi
Mereka berpendapat bahwasannya seorang laki-laki
tidak dipandang baligh sebelum ia mencapai usia 18 tahun. Adapun hujjahnya
adalah:
wur
(#qç/tø)s?
tA$tB
ÉOÏKuø9$#
wÎ)
ÓÉL©9$$Î/
}Ïd
ß`|¡ômr&
4Ó®Lym
x÷è=ö7t
¼çn£ä©r&
( (#qèù÷rr&ur
@øx6ø9$#
tb#uÏJø9$#ur
ÅÝó¡É)ø9$$Î/
( w ß#Ïk=s3çR
$²¡øÿtR
wÎ)
$ygyèóãr
( #sÎ)ur
óOçFù=è%
(#qä9Ïôã$$sù
öqs9ur
tb%2
#s
4n1öè%
( ÏôgyèÎ/ur
«!$#
(#qèù÷rr&
4 öNà6Ï9ºs
Nä38¢¹ur
¾ÏmÎ/
÷/ä3ª=yès9
crã©.xs?
Artinya:
“Dan
janganlah kamu dekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih
bermanfaat, hingga sampai ia dewasa. Dan sempurnakanlah takaran dan timbangan
dengan adil. Kami tidak memikulkan beban kepada sesorang melainkan sekedar
kesanggupannya. Dan apabila kamu berkata, maka hendaklah kamu Berlaku adil, kendatipun
ia adalah kerabat(mu), dan penuhilah janji Allah. Yang demikian itu
diperintahkan Allah kepadamu agar kamu ingat.” (QS. Al-An’am (6):152)
Kedewasaan anak laki-laki sebagaimana yang
diriwayatkan dari Ibnu Abbas adalah dari usia 18 tahun. Adapun anak perempuan
perkembangan dan kesadarannya adalah lebih cepat. Oleh sebab itu usia awal
kedewasaannya dikurangi satu tahun sehingga anak perempuan menjadi dewasa pada
usia 17 tahun.[108]
2. Mazhab
Syafii dan Hambali
Keduanya berpendapat bahwa bila seorang anak
laki-laki dan perempuan apabila telah sempurna berusia 15 tahun, kecuali bagi
laki-laki yang sudah ihtilam dan perempuan yang sudah haid sebelum usia
15 tahun maka keduanya dinyatakan telah baligh. Mereka juga berhujjah
dengan apa yang diriwayatkan dari Ibnu Umar bahwa dirinya diajukan kepada
Nabi saw pada hari perang Uhud sedang ia ketika itu berusia 14 tahun, kemudian
Nabi tidak memperkenankannya ikut dalam peperangan. Setelah setahun dirinya
mengajukan kembali pada hari perang Khandak yang ketika itu ia telah berumur 15
tahun dan diperkenankan oleh Nabi untuk perang Khandak.[109]
3. Mazhab
Maliki
Pendapat yang terkenal dalam mazhab Maliki adalah 18
tahun sebagaimana yang dikemukakan oleh Abu Hanifah, bahwa orang tersebut harus
mempunyai ahliyah (kecakapan) untuk melaksanakan ketentuan hukum
kepadanya. Dan usia 18 tahun merupakan pedoman dimana anak dianggap mampu dan
memiliki kecakapan tersebut.[110]
Sementara itu, sebagaimana dijelaskan oleh as-Sayyid
Sabiq seorang anak akan dikenai hukum secara penuh apabila dia telah mencapai
kesempurnaan akal atau biasa disebut usia baligh.
Usia baligh dalam Islam ditandai
beberapa hal diantaranya dengan sudah bermimpi mengeluarkan sperma bagi pria
atau mengeluarkan haid bagi wanita, tumbuhnya rambut halus di sekitar kemaluan,
atau jika belum ada satu diantara tanda tersebut maka digenapkan sampai usia 15
tahun.[111]
Perbedaan pendapat di antara fuqaha dalam menentukan
usia baligh adalah disebabkan oleh
para fuqaha tersebut menentukan usia
dewasa berdasarkan sabda Rasulullah Saw. berikut:[112]
يُفِيْقَ حَتَّى المَجْنُوْنِ وَعَنِ يَحْتَلِمَ حتَّى الصَّبِّيِّ وَعَنِ يَسْتيْقِظَ حَتَّى ئِمِ النَّا عَنِ :ثَلَاثٍ عَنْ القَلَمُ رُفِعَ
Artinya:
“diangkatkan
pembebanan hukum dari tiga (jenis) orang: anak kecil sampai ia baligh, orang tidur sampai ia bangun,
dan orang gila sampai ia sembuh / sadar”
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa di dalam
Islam pertanggungjawaban pidana bagi anak yang belum baligh tidak ada pembebanan hukum terhadap dirinya. Sehingga bagi
anak-anak yang berkonflik dengan hukum di dalam Islam dapat dijatuhi hukuman
berupa hukuman ta’zir, yaitu hukuman /
sanksi yang diberlakukan kepada pelaku jarimah
yang melakukan pelanggaran (baik berkaitan dengan hak Allah maupun hak manusia)
dan tidak termasuk ke dalam kategori hukuman hudud atau kaffarat.
Karena ta’zir tidak ditentukan secara
langsung oleh al-Quran dan as-Sunnah, maka ini menjadi kompetensi penguasa
setempat. Dalam memutuskan jenis dan ukuran sanksi ta’zir harus tetap memperhatikan petunjuk nash secara teliti karena
menyangkut kemaslahatan umum.[113]
Tindak pidana ta’zir adalah tindak
pidana yang diancamkan dengan satu atau beberapa hukuman ta’zir. Yang dimaksud dengan ta’zir
adalah ta’dibiy yaitu memberikan pendidikan
(pendisiplinan).[114]
Ta’zir
adalah bentuk mashdar dari kata ﻋٙﺰٙﺭٙ-ﻳٙﻌٛﺰِﺭُ yang
secara etimologis berarti menolak dan mencegah. Kata ini juga memiliki arti
ﻧٙﺼٙﺮٙەُ yaitu menolong atau menguatkan.[115]
Abdul Qadir Audah dalam al-Tasyri’ al-Jina’i al-Islamiy Muqaranan bi al-Qanun al-Wadh’i sebagaimana
dikutip oleh Nurul Irfan dan Masyrofah dalam bukunya Fiqh Jinayah memberikan
definisi ta’zir yaitu pengajaran yang
tidak diatur oleh hudud dan merupakan
jenis sanksi yang diberlakukan karena melakukan beberapa tindak pidana yang
oleh syariat tidak ditentukan dengan sebuah sanksi hukuman tertentu.[116]
Selanjutnya, Wahbah al-Zuhaili dalam kitab al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu sebagaimana
dikutip oleh Nurul Irfan dan Masyrofah dalam bukunya Fiqh Jinayah mengartikan
sanksi-sanksi ta’zir adalah
hukuman-hukuman yang secara syara’
tidak ditegaskan mengenai ukurannya. Syariat Islam menyerahkannya kepada penguasa
negara untuk menentukan sanksi terhadap pelaku tindak pidana yang sesuai dengan
kejahatannya.[117]
Hukum Islam tidak menentukan
macam-macam hukuman untuk tiap-tiap tindak pidana ta’zir, tetapi hanya menyebutkan sekumpulan hukuman, dari yang
paling ringan sampai yang paling berat. Dalam hal ini hakim diberi kewenangan
dan kebebasan untuk memilih hukuman-hukuman yang sesuai dengan macam tindak
pidana ta’zir serta keadaan si
pelaku. Singkatnya, hukuman-hukuman tindak pidana ta’zir tidak mempunyai batasan tertentu.[118]
Adapun sebagian besar dari tindak pidana ta’zir diserahkan kepada penguasa untuk
menentukannya. Meskipun demikian, hukum Islam tidak memberikan wewenang kepada
penguasa untuk dapat menentukan tindak pidana dengan sekehendak hati, tetapi
harus sesuai dengan kepentingan-kepentingan masyarakat dan tidak boleh
berlawanan dengan nash-nash /
ketentuan serta prinsip-prinsip umum hukum Islam.[119]
Maksud syarak memberikan hak penentuan tindak pidana ta’zir kepada para penguasa (dalam batasan-batasan tersebut) adalah
agar mereka dapat mengatur masyarakat dan memelihara kepentingan-kepentingannya
serta bisa menghadapi keadaan yang mendadak dengan sebaik-baiknya.[120]
Berikut tujuan diberlakukannya sanksi ta’zir :[121]
a. Preventif
(pencegahan). Ditujukan bagi orang lain yang belum melakukan jarimah;
b. Represif
(membuat pelaku jera). Dimaksudkan agar pelaku tidak mengulangi perbuatan jarimah di kemudian hari;
c. Kuratif
(islah). Ta’zir harus mampu membawa perbaikan perilaku terpidana di kemudian
hari;
d. Edukatif
(pendidikan). Diharapkan dapat mengubah pola hidupnya ke arah yang lebih baik.
Ta’zir
berlaku atas semua orang yang melakukan kejahatan. Syaratnya adalah berakal
sehat. Tidak ada perbedaan baik laki-laki maupun perempuan, dewasa maupun
anak-anak, atau kafir maupun Islam. Setiap orang yang melakukan kemungkaran
atau menganggu pihak lain dengan alasan yang tidak dibenarkan baik itu
dilakukan dengan perbuatan, ucapan ataupun isyarat perlu diberi sanksi ta’zir agar tidak mengulangi
perbuatannya.[122]
Seperti penyalahgunaan fungsi lem oleh anak yang masih di bawah umur untuk
mabuk. Maka dalam kasus yang seperti ini diberlakukan hukuman ta’zir.
D.
Inhalansia (Hisap Lem) dalam Hukum Pidana Indonesia
Sebagaimana telah dipaparkan sebelumnya inhalansia merupakan salah satu zat yang
tergolong ke dalam zat adiktif. Zat adiktif adalah salah satu zat yang tergolong
ke dalam narkoba. Di Indonesia memang belum ada aturan khusus yang dikeluarkan
oleh pemerintah terkait permasalahan inhalansia.
Akan tetapi jika dilihat dari zat yang terkandung di dalam lem yang sering
digunakan remaja dan anak untuk mabuk maka inhalansia
(hisap lem) tersebut dapat digolongkan ke dalam bentuk NAPZA. Adapun
penggolongan jenis-jenis NAPZA berdasarkan pada peraturan perundang-undangan
yang berlaku yaitu Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dan
Undang-Undang No. 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika, sebagai berikut:[123]
a. Narkotika
a) Narkotika
golongan I yaitu: heroin, kokain, ganja dan putau merupakan heroin tidak murni berupa bubuk.
b) Narkotika
golongan II yaitu: morfin dan petidin.
c) Narkotika
golongan III yaitu: kodein.
b. Psikotropika
a) Psikotropika
golongan I yaitu: MDMA (ekstasi), LSD
(Lysergic Acid Diethylamide), dan STP.
b) Psikotropika
golongan II yaitu: amfetamin, metamfetamin (sabu), fensliklidin, dan ritalin.
c) Psikotropika
golongan III yaitu: pentobarbital dan
flunitrazepam.
d) Psikotropika
golongan IV yaitu: diazepam, klobazam, fenobarbital, barbital, klorazepam, klordiazepoxide dan nitrazepam
(nipam, pil BK/koplo, DUM, MG, lexo
dan rohyp).
Salah satu zat yang terdapat di dalam lem “aica aibon” adalah LSD (Lysergic Acid Diethylamide). LSD merupakan salah satu zat yang tergolong ke dalam psikotropika
golongan I.[124]
Zat ini dapat mempengaruhi pusat susunan saraf. Selain itu, di dalam bukunya
Andi Hamzah menyatakan bahwa LSD (Lysergic
Acid Diethylamide) merupakan zat sejenis narkotika.[125]
Ketentuan pidana terkait penggunaan
narkotika/obat-obatan terlarang diatur dalam Undang-Undang No. 35 Tahun 2009
tentang Narkotika sebagai berikut:[126]
a. Terhadap
pengguna narkotika golongan 1 diatur dalam pasal 116 ayat (1) dan (2)
(1)
Setiap orang yang tanpa hak atau
melawan hukum menggunakan narkotika golongan I terhadap orang lain atau
memberikan narkotika golongan I untuk digunakan orang lain, dipidana dengan
pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas)
tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)
dan paling banyak Rp. 10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).
(2)
Dalam hal penggunaan narkotika
terhadap orang lain atau pemberian narkotika golongan I untuk digunakan orang
lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang lain mati atau
cacat permanen, pelaku dipidana dengan pidana mati, pidana penjara seumur
hidup, atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20
(dua puluh) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
ditambah 1/3 (sepertiga).
b. Terhadap
pengguna narkotika golongan II diatur dalam pasal 121 ayat (1) dan (2)
(1)
Setiap orang yang tanpa hak atau
melawan hukum menggunakan narkotika golongan II tehadap orang lain atau memberikan
narkotika golongan II untuk digunakan orang lain, dipidana dengan pidana
penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan
pidana denda paling sedikit Rp. 800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah) dan
paling banyak Rp. 8.000.000.000,00 (delapan miliar rupiah).
(2)
Dalam hal penggunaan narkotika
terhadap orang lain atau pemberian narkotika golongan II untuk digunakan orang
lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang lain mati atau
cacat permanen, pelaku dipidana dengan pidana mati, pidana penjara seumur
hidup, atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20
(dua puluh) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
ditambah 1/3 (sepertiga).
c. Terhadap
pengguna narkotika golongan III diatur dalam pasal 126 ayat (1) dan (2)
(1)
Setiap orang yang tanpa hak atau
melawan hukum menggunakan narkotika golongan III tehadap orang lain atau
memberikan narkotika golongan III untuk digunakan orang lain, dipidana dengan
pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun
dan pidana denda paling sedikit Rp. 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah) dan
paling banyak Rp. 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
(2)
Dalam hal penggunaan narkotika
tehadap orang lain atau pemberian narkotika golongan III untuk digunakan orang
lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang lain mati atau
cacat permanen, pelaku dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima)
tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda maksimum
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga).
Adapun sanksi bagi orang yang menggunakan
psikotropika diluar tujuan pengembangan ilmu pengetahuan seperti yang diatur
dalam pasal 59 ayat (1) Undang-Undang No. 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika,
adalah sama dengan sanksi yang dijatuhkan bagi produsen dan pengedar
psikotropika, baik yang dilakukan secara individu, terorganisasi dan korporasi.
Berikut pasal 59 ayat (1) Undang-Undang No. 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika:[127]
Barangsiapa:
a.
Menggunakan psikotropika golongan
I selain untuk tujuan ilmu pengetahuan; atau
b.
Memproduksi dan/atau menggunakan
dalam proses produksi psikotropika golongan I sebagaimana dimaksud dalam Pasal
6; atau
c.
Mengedarkan psikotropika golongan
I tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (3); atau
d. Mengimpor psikotropika golongan I selain untuk kepentingan ilmu pengetahuan;
atau
d.
Secara tanpa hak memiliki,
menyimpan dan/atau membawa psikotropika golongan I dipidana dengan pidana penjara
paling singkat 4 (empat) tahun, paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana
denda paling sedikit Rp. 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah), dan
paling banyak Rp. 750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah).
Selanjutnya, dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1997
tentang psikotropika menyatakan bahwa jika tindak pidana psikotropika dilakukan
dengan menggunakan anak yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun dan belum
menikah atau orang yang di bawah pengampuan atau ketika melakukan tindak pidana
belum lewat dua tahun sejak selesai menjalani seluruhnya atau sebagian pidana
penjara yang dijatuhkan kepadanya, ancaman pidana ditambah sepertiga pidana
yang berlaku untuk tindak pidana tersebut.[128]
Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika
juga diatur tentang penyalahgunaan narkotika oleh anak:
(1)
orang tua atau wali dari Pecandu Narkotika
yang belum cukup umur wajib melaporkan kepada pusat kesehatan masyarakat, rumah
sakit, dan/atau lembaga rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial yang ditunjuk
oleh Pemerintah untuk mendapatkan pengobatan dan/atau perawatan melalui
rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial.[129]
(2)
Pecandu Narkotika yang sudah
cukup umur wajib melaporkan diri atau dilaporkan oleh keluarganya kepada pusat
kesehatan masyarakat, rumah sakit, dan/atau lembaga rehabilitasi medis dan
rehabilitasi sosial yang ditunjuk oleh Pemerintah untuk mendapatkan pengobatan
dan/atau perawatan melalui rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial.[130]
Selanjutnya orang tua atau wali dari pecandu yang belum
cukup umur, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (1) yang sengaja tidak
melapor, dipidana dengan pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan atau pidana
denda paling banyak Rp. 1.000.000,00 (satu juta rupiah).[131]
Selanjutnya dikatakan bahwa pecandu narkotika yang belum cukup umur dan telah
dilaporkan oleh orang tua atau walinya sebagaimana dimaksud dalam pasal 55 ayat
(1) tidak dituntut pidana.[132]
Dalam Undang-Undang No. 35 Tahun 2014 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak,
menyatakan bahwa:
(1)
Pemerintah, Pemerintah Daerah,
dan lembaga negara lainnya berkewajiban dan bertanggung jawab untuk memberikan
Perlindungan Khusus kepada Anak.[133]
(2)
Perlindungan Khusus kepada Anak
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan kepada:
a.
Anak dalam situasi darurat;
b.
Anak yang berhadapan dengan
hukum;
c.
Anak dari kelompok minoritas dan
terisolasi;
d.
Anak yang dieksploitasi secara
ekonomi dan/atau seksual;
e.
Anak yang menjadi korban
penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat adiktif lainnya;
f.
Anak yang menjadi korban
pornografi;
g.
Anak dengan HIV/AIDS;
h.
Anak korban penculikan,
penjualan, dan/atau perdagangan;
i.
Anak korban Kekerasan fisik
dan/atau psikis;
j.
Anak korban kejahatan seksual;
k.
Anak korban jaringan terorisme;
l.
Anak Penyandang Disabilitas;
m.
Anak korban perlakuan salah dan
penelantaran;
n.
Anak dengan perilaku sosial
menyimpang; dan
o.
Anak yang menjadi korban
stigmatisasi dari pelabelan terkait dengan kondisi Orang Tuanya.[134]
Selanjutnya dalam pasal 59A dikatakan bahwa:
Perlindungan
Khusus bagi Anak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (1) dilakukan melalui
upaya:
a.
Penanganan yang cepat, termasuk
pengobatan dan/atau rehabilitasi secara fisik, psikis, dan sosial, serta
pencegahan penyakit dan gangguan kesehatan lainnya;
b.
Pendampingan psikososial pada
saat pengobatan sampai pemulihan;
c.
Pemberian bantuan sosial bagi
Anak yang berasal dari Keluarga tidak mampu; dan
d.
Pemberian perlindungan dan
pendampingan pada setiap proses peradilan.[135]
[1] Aerosol merupakan larutan obat yang diuapkan untuk bahan terapi
(Kamus Kedokteran, Dr. Med. Ahmad Ramali).
[2] Julianan Lisa FR, Nengah
Sutrisna W, Narkoba, Psikotropika dan
Gangguan Jiwa (Tinjauan Kesehatan dan Hukum), (Yogyakarta: Nuha Medika,
2013), Cet. 1, h. 23
[3] Muhammad Fauzan Kasim, Tinjauan Kriminologis Terhadap
Penyalahgunaan “Lem Aibon”Oleh Anak Jalanan, (Makassar: Universitas
Hasanuddin, 2012), h. 17
[4] Ibid.,
[5] Ahmad Ramali, K. St. Pamoentjak,
Kamus Kedokteran, (Jakarta: Djambatan, 2005), h. 171
[6] Gudang Biologi, Pengertian dan
Contoh Zat Adiktif dan Psikotropika, 2015, http://www.gudangbiologi.com/ di akses pada hari Senin, 16 Mei
2016 jam 19:19 Wib
[7] Ibid.,
[8] PP No. 109 Tahun 2012 Tentang
Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif
[9] Wawan
Ranuwijaya, Buku P4GN Bidang pemberdayaan Masyarakat,( Jakarta: Balai
Penerbit Badan Narkotika Nasional, 2010), h. 10
[10] Kafein merupakan senyawa beracun yang dihasilkan oleh tumbuhan
seperti biji kopi (Kamus Ilmiah Kontemporer, M.D.J al-Barry).
[11]Alkaloida
merupakan
golongan senyawa organik bernitrogen yang berasal dari tumbuhan dan memiliki
sifat farmakologik (dapat
dipergunakan sebagai obat dalam jumlah tertentu), (Kamus Ilmiah Kontemporer,
M.D.J al-Barry).
[12] Wawan Ranuwijaya, loc.cit.,
[13] Nikotine merupakan racun yang terdapat di dalam tembakau (Kamus
Ilmiah Kontemporer, M.D.J al-Barry).
[14] Wawan Ranuwijaya, op.cit., h. 11
[15] Ibid., h. 12
[16] Solven adalah zat pelarut (Kamus Kedokteran, Dr. Med. Ahmad
Ramali).
[17] Wawan Ranuwijaya, loc.cit.,
[18] Dede Ratna, Zat Adiktif, 2016, http://dederatnadewi.blogspot.co.id/ di akses pada hari Senin, 16 Mei
2016 jam 16:59 Wib
[19] Ahmad Fendi Hermawan, Peran Remaja Dalam Menanggulangi Narkotika,
(Yogyakarta: STMIK “AMIKOM”), h. 8
[20] Undang-Undang No. 35 Tahun 2009
Tentang Narkotika Pasal 1
[21] Undang-Undang No. 5 Tahun 1997
Tentang Psikotropika Pasal 1
[22] Halusinogen dapat mengubah rangsangan indera yang jelas serta
merubah perasaan dan pikiran sehingga menimbulkan kesan palsu atau halusinasi
(Kamus Ilmiah Kontemporer, M.D.J al-Barry).
[23] LSD (lysergic acid diethylamide) adalah suatu zat yang dibuat
cendawan ergot (jamur kering) yang
hidup di gandum hitam yang digunakan sebagai alat riset untuk mengkaji
mekanisme penyakit mental (Kamus Kedokteran, Dr. Med. Ahmad Ramali).
[24] Jeanne Mandagi, Sumarna A.
Haris, Penanggulangan Bahaya Narkotika
dan Psikotropika, (Jakarta: Pramuka Saka Bhayangkara, 1996), h. 42
[25] Julianan Lisa FR, Nengah
Sutrisna W, op.cit., h. 24-25
[26] Ibid., h. 26-27
[27] Ibid., h. 27
[28] Julianan Lisa FR, Nengah
Sutrisna W, op.cit., h. 15
[29] Muhammad Fauzan Kasim, op.cit., h. 25
[30] Psychedelik adalah zat yang menimbulkan khayalan
atau rangsangan (Kamus Kedokteran, Dr. Med. Ahmad Ramali).
[31] solutio adalah zat larut,
zat yang dilarutkan dalam satu larutan (Kamus Kedokteran, Dr. Med. Ahmad
Ramali).
[32] intramuskular maksudnya pendistribusian
di dalam otot (Kamus Kedokteran, Dr. Med. Ahmad Ramali).
[33] intravena maksudnya suntikan
ke dalam pembuluh balik (Kamus Kedokteran, Dr. Med. Ahmad Ramali).
[34] Therapeutik maksudnya berkaitan dengan pengobatan
(Kamus Kedokteran, Dr. Med. Ahmad Ramali).
[35] Muhammad Fauzan Kasim, op.cit., h. 16
[37] Disorientasi merupakan keadaan kehilangan atau ketidakjelasan arah
(orientasi), (Kamus Kedokteran, Dr. Med. Ahmad Ramali).
[38] Zainuddin Ali, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar Grafika,
2012), Cet. 3, h. 78
[39] Nurul Irfan dan Masyrofah, Fiqh
Jinayah, (Jakarta: Sawo Raya, 2014), Cet. 2, h. 51
[40] Zainuddin Ali, Hukum Islam “Pengantar Ilmu Hukum Islam di
Indonesia”, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), Cet. 1, h. 114-115
[41] Ibnu Hajar al-Asqalani, Terjemahan Hadits Bulughul Maram,
(Bandung: Gema Risalah Press, 1991), h. 425
[42] Al-Ahmadi Abu an-Nur, Narkoba, (Jakarta: Darul Falah, 2000),
Cet. 1, h. 27
[43] Ibid., 143
[44] Zainuddin Ali, Hukum Pidana Islam, op.cit., h. 80
[45] M. Shiddiq al-Jawi, Hukum Seputar Narkoba Dalam Fiqh Islam,
2012, http://hizbut-tahrir.or.id/ di akses pada Kamis, 26 Mei 2016
jam 10:25 Wib
[46] Yusuf Qardhawi, Fatwa-Fatwa Kontemporer, (Jakarta: Gema
Insani Press, 2003), h. 274
[47] Shalih bin Ghanim As-Sadlan, Bahaya Narkotika Mengancam Umat,
(Jakarta: Daarul Haq, 2000), Cet. 1, h. 143
[48] Dr. Mardani, Penyalahgunaan Narkoba Dalam Perspektif
Hukum Islam dan Nasional, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2008), h.76
[49] Ibid., h. 114
[50] Ibid.,
[51] Zainuddin Ali, Hukum Pidana Islam, op.cit., h.78
[52] Nurul Irfan dan Masyrofah, Fiqh
Jinayah, (Jakarta: Sawo Raya, 2014), Cet. 2, h. 177-178
[53] Ibid.,
[54] Nurul Irfan dan Masyrofah, op.cit.,
h. 48
[55] Ibid.,
[56] Ibid.,
[57] Ibid., h. 49
[58] Ibid.,
[59] Abdullah Muhammad bin Yazid
Al-Qazwini Al-Nasai, Sunan Al-Nasa’i, (Beirut: Dar Al-Fikr, 1995), jilid
8, h. 286
[60]
Nurul Irfan dan Masyrofah, op.cit., h. 50
[61] Shalih bin Ghanim As-Sadlan, op.cit., h. 16
[62] Zainuddin Ali, Hukum Pidana Islam, op.cit., h. 99
[63] Wahbah Zuhaili, Al-Islami Wa Adillatuh, (Beirut: Dar
Al-Fikr Al-Maasir, 1997), Cet. 4, Jilid VII, h. 5487
[64] Nurul Irfan dan Masyrofah, op.cit., h. 51
[65] Ibid.,
[66] Muslim, Shahih Muslim, (Semarang: Toha Putra), Jilid II, h.56-57
[67] Nurul Irfan dan Masyrofah, op.cit., h. 52
[68] Sulaiman Bin Al-Asy’ats
Al-Sijistani Al-Azadi (Selanjutnya Disebut Abu Dawud), Sunan Abu Daud, (Indonesia: Maktabah Dahlan), Jilid IV, h. 164
[69] Muslim, op.cit., h. 57
[70] Maksud had paling ringan adalah
sama dengan had qadzaf (menuduh orang
lain berzina).
[71] Wahbah Al-Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islami Wa Adillatuh, Jilid
VII, h. 5488-5489
[72] Ibid.,
[73] Ibid.,
[74] Nurul Irfan dan Masyrofah, op.cit., h. 56
[75] Ibid.,
[76] Ibid., h. 57
[77] Julianan Lisa FR, Nengah
Sutrisna W, op.cit., h. 23
[78] Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia,
(Jakarta: Balai Pustaka, 1989), Cet. 2, h. 30
[79] Nasru Haroen, Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta: PT.
Ikhtiar Baru Van Hovven, 1999), Cet. 3, h. 112
[80] Kartini Kartono, Kamus Lengkap Psikologi, (Jakarta:
Rajawali Pers, 2002), Cet. 8, h. 83
[81] Undang-Undang No. 23 Tahun 2002
tentang Perlindungan Anak pasal 1 ayat (1)
[82] Undang-Undang No. 3 Tahun 1997
tentang Peradilan Anak pasal 1 ayat (1)
[83] Maidin Gultom, Perlindungan
Hukum Terhadap Anak Dalam Sistem Peradilan Anak Di Indonesia,(Bandung: Refika Aditama, 2008), Hlm.
34
[84] Lihat pasal 59 Undang-Undang No.
23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak: “pemerintah dan lembaga negara lainnya
berkewajiban dan bertanggung jawab untuk memberikan perlindungan khusus kepada
anak dalam situasi darurat, anak yang berkonflik dengan hukum, anak dari
kelompok minoritas dan terisolasi, anak tereksploitasi secara ekonomi dan/atau
seksual, anak yang diperdagangkan, anak yang menjadi korban penyalahgunaan
narkotika, alkohol, psikotropika dan zat adiktif lainnya (NAPZA), anak korban
penculikan, penjualan dan perdagangan, anak korban kekerasan baik fisik
dan/atau mental, anak yang menyandang cacat, dan anak korban perlakuan salah
dan penelantaran”
[85] M. Nasir Djamil, Anak Bukan Untuk Dihukum, (Jakarta
Timur: Sinar Grafika, 2015), Cet. 3, h. 32-33
[86] Ibid., h. 33
[87] Ibid,.
[88] A. Syamsuddin Meliala, E.
Sumaryono, Kejahatan Anak “Suatu Tinjauan
Dari Psikologis dan Hukum”,
(Yogyakarta: Liberty, 1985), h. 31
[89] M. Nasir Djamil, op.cit,. h. 35
[90] Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia,
(Jakarta: Balai Pustaka, 1991), Cet. 3, h. 219
[91] Kartini Kartono, Patologi Sosial (2) “Kenakalan Remaja”,
(Jakarta: Rajawali Pers, 1992), h. 7
[92] Romli Atmasasmita, Problem Kenakalan Anak-Anak Remaja,
(Bandung: Armico, 1983), h. 40
[93] Muna Faizah Amatullah, Batasan Usia Pidana Anak di Bawah Umur
Berdasarkan Tinjauan Psikologi Islam, (Surakarta: Universitas
Muhammadiyah), h. 180
[94] Ibid.,
[95] Umar Shihab dkk, Ensiklopedia Hukum Pidana Islam II,
(Bogor: PT. Kharisma Ilmu, 2008), h. 255
[96] Abdur Rahman I,
Tindak Pidana Dalam Syari’at Islam, diterjemahkan oleh Wadi Masturi,
Syari’ah The Islamic Law, Cet ke-1, (Jakarta : Rineka Cipta, 1992), h. 16
[97] M. Nafidlul Mufakkir, Pertanggungjawaban Pidana Anak di Bawah Umur,
(Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga, 2015), h. 5
[98] Umar Shihab dkk, loc.cit.,
[99] Ibid., h.
256
[100] Ibid.,
[101] Ibid., h. 257
[102] Ibid.,
[103] Ibid.,
[104] Ibid.,
[105] Ahmad Wardi
Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar Grafika,
2006), h. 74
[106] Teungku Muhammad Hasbiy
Ash-Shieddeqy, Tafsir Al-Quran Majid
An-Nuur, (Jakarta: Bulan Bintang, 1965), Jilid 4, h.2849
[107]
M. Nafidlul Mufakkir, op.cit., h.
7
[108]Ihsan Badroni, Hukum
Pidana Bagi Anak Kecil, http://ihsan26theblues.wordpress.com,
diakses pada tanggal 1 mei 2014, pukul 09:04 WIB.
[109] Muhammad Ali al-Sabuni, Rawai’ul Bayan
Tafsir fi al-Ayat al-Ahkam min al-Qur’an, diterjemahkan oleh Saleh Mahfud, Tafsir
Ayat-ayat Hukum dalam Al-Qur’an, (Bandung: Al-Ma’arif, 1994), h. 369
[110] Ihsan Badroni, op.cit.,
[111] Muna Faizah Amatullah, op.cit., h. 176-177
[112] Umar Shihab dkk, Ensiklopedia Hukum Pidana Islam II, op.cit., h. 257-258
[113] Nurul Irfan dan Masyrofah, op.cit., h. 139-140
[114] Umar Shihab dkk, Ensiklopedia Hukum Pidana Islam I,
(Bogor: PT. Kharisma Ilmu, 2008), h. 100
[115] Nurul Irfan dan Masyrofah, op.cit., h. 136
[116] Ibid., h. 138
[117] Ibid., h. 139
[118] Umar Shihab dkk, Ensiklopedia Hukum Pidana Islam I, loc.cit.,
[119] Ibid., h. 101
[120] Ibid.,
[121] Nurul Irfan dan Masyrofah, op.cit., h. 142
[122] Ibid., h. 143
[123] Lydia Harlina Martono, Satya
Joewana, Pencegahan dan Penanggulangan
Penyalahgunaan Narkoba, (Jakarta:Balai Pustaka, 2006), h. 6-7
[124] Ibid.,
[125] Andi Hamzah dan Surachman, Kejahatan Narkotika dan Psikotropika,
Jakarta: Sinar
Grafika, 1994, Cet.
1, h. 1
[126] Undang-Undang No. 35 Tahun 2009
tentang Narkotika
[127] Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997
tentang Psikotropika
[128] Undang-Undang No. 5 Tahun 1997
Tentang psikotropika, Pasal 72
[129] Undang-Undang No. 35 Tahun 2009
Tentang Narkotika, Pasal 55 ayat (1)
[130] Ibid., pasal 55 ayat (2)
[131] Ibid., Pasal 128 ayat (1)
[132] Ibid., Pasal 128 ayat (2)
[133] Undang-Undang No. 35 Tahun 2014
Tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan
Anak, Pasal 59 Ayat (1)
[134] Ibid., Pasal 59 Ayat (2)
[135] Ibid., Pasal 59A